skip to main |
skip to sidebar
Periode 1989-1991 melahirkan banyak perubahan besar, yang akan mempengaruhi bentuk dunia di masa mendatang. Bahkan cukup banyak sejarawan dan ahli ilmu politik yang menyamakan kurun 1989- 1991 ini dengan momentum-momentum lain yang mengubah dunia, seperti 1789 (Revolusi Perancis), 1917 (Revolusi Bolsyewik), dan 1945 (Rontoknya Nazisme dan Fasisme).
Salah satu hasil yang segera dirasakan adalah momentum perdamaian dunia seperti berakhirnya Perang Dingin, inisiatif pengurangan persenjataan nuklir AS, surutnya politik Apartheid di Afrika Selatan, mencairnya konflik Kamboja, hingga Konferensi Madrid tentang Timur Tengah baru-baru ini. Rangkaian peristiwa ini membangkitkan harapan banyak orang akan dunia yang lebih baik.
Akar kesejarahan Revolusi Perancis adalah bangkitnya kesadaran baru (renaissance) dan munculnya kelas menengah (borjuasi) di Eropa sejak abad ke-16. Demikian pula, akar kesejarahan Revolusi 1917 adalah membusuknya dinasti Tsar dan akibat-akibat buruk industrialisasi-tahap-awal. Maka pertanyaan yang penting saat ini: di manakah akar kesejarahan momentum perdamaian 1989-1991?
Untuk menjawab pertanyaan ini, berbagai pendekatan bisa digunakan. Tapi pendekatan yang tampaknya paling memuaskan adalah pendekatan yang berangkat dari sifat hubungan bangsa-bangsa. "Perdamaian dunia" adalah konsep besar. Ia adalah hasil interaksi bangsa-bangsa yang terpola, yang berlangsung dalam jangka waktu yang tidak singkat.
Mendekati persoalan ini hanya dari sudut runtuhnya komunisme, atau perubahan pola kebijakan luar negeri AS, atau munculnya Jepang dan Jerman sebagai kekuatan baru, sebagaimana yang selama ini sudah terlalu sering dilakukan, akan sangat menyederhanakan persoalan. Pendekatan semacam ini membuat kita melihat perkembangan dunia secara terpenggal-penggal, tidak utuh.
Dengan kata lain, akar kesejarahan momentum perdamaian baru ini harus dicari pada pergeseran "paradigma", atau sifat hubungan bangsa-bangsa. Begitu pula, dengan memahami pergeseran ini, kita bisa mengerti bentuk dan problematik utama The New World Order yang sudah terlalu sering didengungkan oleh Presiden AS George Bush.
Dari politik ke ekonomi
Ada dua jalan bagi bangsa-bangsa untuk mempertahankan atau meningkatkan martabatnya dalam pergaulan internasional. Pertama, jalan perdagangan. Kedua, jalan politik-militer. Jalan pertama ditempuh secara damai untuk menggalakkan "pembangunan ekonomi". Jalan kedua dilakukan untuk menduduki atau mempertahankan lingkup teritorial tertentu sebagai sumber bahan mentah atau daerah pemasaran.
Sejak lahirnya negara moderen di abad ke-16, kedua jalan itu silih berganti menjadi "paradigma" dalam hubungan bangsa-bangsa. Tapi hingga dua atau tiga dekade setelah Perang Dunia ke-2, yang sangat dominan adalah jalan politik-militer.
Ambisi-ambisi para pemimpin yang muncul di Eropa untuk meningkatkan martabat negerinya melalui jalan seperti ini, misalnya Philip II di Spanyol, Louis XIV dan Napoleon di Prancis, Peter Agung dan Stalin di Rusia, Bismarck di Prussia, Hitler di Jerman serta Mussolini di Italia, pada akhirnya melahirkan perang antarbangsa. Dalam abad-abad pertama kelahiran negara moderen, yang terjadi adalah rangkaian perang yang berulang secara teratur, sehingga lahirlah adagium "perdamaian adalah persiapan bagi peperangan yang lebih dahsyat".
Salah satu anak kandung dari jalan politik-militer adalah penjajahan bangsa-bangsa di Amerika Selatan, Afrika dan Asia. Untuk memonopoli sumber bahan mentah (kapas) dan daerah pasar bagi tekstilnya, Inggris menguasai India. Untuk merebut sumber rempah- rempah, Belanda mempertahankan penguasaan Hindia Belanda. Demikian pula Italia dan Prancis di Afrika, Jepang di Tiongkok, serta Spanyol dan Portugis di Amerika Selatan. Di sinilah bentuk kekerasan lain yang bukan perang, yaitu kekerasan struktural (penghisapan ekonomi), mengambil bentuknya yang paling menyedihkan.
Puncak dari "paradigma" hubungan antarbangsa demikian adalah dua perang besar (Perang Dunia ke-1 dan ke-2). Apa yang dialami dan dilakukan oleh Jepang menjelang Perang Dunia ke-2 adalah contoh yang baik dari bagaimana jalan politik-militer untuk menguasai sumber- sumber ekonomi akhirnya melahirkan perang besar. Buat Jepang sejak 1930-an, AS adalah pemasok logam dan minyak yang terbesar. Tapi akibat invasi Jepang ke Cina, pada 1940-41 Presiden Franklin D. Roosevelt melakukan embargo perdagangan.
Untuk mengganti pasokan minyak ini, Jepang melirik ke Asia Tenggara, terutama ke Hindia Belanda. Tapi di kawasan ini telah ada Inggris dan Belanda, yang menolak permintaan Jepang. Untuk merebut daerah minyak inilah, Jepang terlebih dahulu harus memotong jalur bantuan kekuatan AS : ia menyerbu Pearl Harbor dan memulai prahara di Pasifik.
Setelah 1945, jalan politik-militer tetap digunakan oleh dua negara adikuasa (superpower) yang muncul sesudah perang. Namun kali ini, penguasaan teritorial dan penanaman pengaruh tidak lagi semata- mata atas maksud ekonomi dan sabuk pengamanan, tetapi telah ditambah dan dibingkai oleh unsur-unsur ideologi (kapitalisme dan komunisme). Hasilnya adalah Perang Dingin.
Perang semacam ini menghasilkan bentuk kekerasan struktural yang lain lagi: perlombaan senjata antara dua blok ideologi dan kecemasan akibat potensi destruktif dari perang nuklir (menurut majalah Time, hingga Juni 1991 jumlah seluruh peluru kendali berkepala nuklir dalam berbagai jenis di kedua blok adalah 16.690; cukup untuk menghancurkan bumi beberapa puluh kali).
Di Dunia Ketiga -- istilah yang muncul setelah 1945 untuk menggambarkan negeri-negeri terbelakang pasca-koloni -- Perang Dingin ini ternyata meminta cucuran darah yang tidak sedikit. Inilah yang disebut proxy war. Di sini yang bertarung umumnya bukan kedua negara adikuasa itu sendiri, tetapi perbenturan kepentingan dan perebutan pengaruh di antara mereka menyebabkan, atau setidaknya mendorong, dua atau tiga negara Dunia Ketiga terlibat dalam peperangan yang dahsyat. Contoh yang baik untuk ini di antaranya adalah Perang Korea, Perang Vietnam, Invasi Vietnam di Kamboja, dan Perang Arab-Israel.
Sementara itu, sejak pertengahan tahun 1960-an "paradigma" lain, yaitu jalan perdagangan atau "pembangunan ekonomi", mulai mencuat dalam tindakan dan sifat hubungan antarbangsa. Ironisnya, yang menjadi ujung tombak dari "paradigma" baru ini adalah Jerman (Barat) dan Jepang, dua negara yang hanya beberapa tahun sebelumnya menjadi penganut ekstrim jalan politik-militer (Nazisme dan Fasisme) dan sama-sama mengalami kehancuran dalam Perang Dunia II.
Jika melalui "paradigma" lama keduanya hanya menemui kehancuran dan kegagalan, maka melalui jalan perdagangan keduanya mengibarkan bukti bahwa tanpa melalui kekuatan militer dan penaklukan wilayah pun, tapi dengan strategi ekspor dan industrialisasi yang tepat, negeri yang "hancur" dan "tertinggal" dapat mengubah nasibnya, berjaya, tegak di antara bangsa-bangsa. Pada pertengahan 1980-an, Jerman (Barat) dan Jepang telah menjadi kekuatan ekonomi yang melampaui Uni Soviet dan mendekati AS, dua negara yang hingga pertengahan 1980-an itu tetap sulit meninggalkan jalan politik- militer.
Sukses Jepang dan Jerman kemudian disusul oleh Hongkong, Taiwan, Korsel, Singapura. Sederetan negara lain kemudian menyusul di belakang mereka, seperti Mexico dan Brazil, Thailand dan Malaysia. Semua negeri inilah yang oleh Richard Rosencrance, dalam bukunya yang baru-baru ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Kebangkitan Negara Dagang -- perdagangan dan penaklukan di dunia moderen, Gramedia, 1991), disebut sebagai trading states. Negeri- negeri ini meningkatkan martabatnya dan mensejahterakan penduduknya melalui peluang-peluang yang diberikan oleh sistem perdagangan dunia.
Maka itulah, Richard Rosencrance, dalam bukunya mengatakan bahwa pergeseran "paradigma" dalam sifat hubungan bangsa-bangsa diakibatkan pertama-tama oleh perkembangan yang terjadi dalam sistem perdagangan internasional: sistem ini bisa memberi kesejahteraan dan kejayaan, sekaligus menjamin bahwa kebutuhan akan bahan-bahan produksi untuk itu dapat terpenuhi. Sebaliknya, jika menolak sistem perdagangan ini, sebuah negeri hanya akan memencilkan diri dari pertukaran internasional dan akhirnya terjebak dalam economic down- turn yang memiskinkan (seperti Myanmar).
Sisi lain di balik aspek perdagangan yang disebut oleh Rosen crance di atas adalah semakin mahalnya biaya perlombaan senjata dan pertahanan. Maka dalam dunia seperti sekarang ini, semakin aktif sebuah negeri terlibat dalam jalan politik-militer, semakin ia kehilangan peluang untuk lebih maju dalam sistem perdagangan dunia - - semakin banyak investasi yang kontra-produktif. Karena itu pula, cukup banyak ilmuwan politik yang berkata bahwa sebab-sebab keruntuhan Uni Soviet adalah anggaran pertahanannya yang irrasional (25 persen dari GDP).
Demikian pula dengan kesulitan ekonomi yang dialami Amerika Serikat akhir-akhir ini. Menurut Prof. Paul Kennedy, dalam bukunya yang sangat populer (The Rise and Fall of the Great Powers -- economic change and military conflict from 1500 to 2000, Vintage Books, 1989), AS tidak mungkin lagi mempertahankan tingkat kemakmurannya jika biaya pertahanan masih setinggi sekarang ini. Amerika sedang mengalami imperial overstretch: demi perlengkapan militer, terlalu banyak peluang-peluang ekonomi terlewatkan, terlalu banyak sumber-sumber ekonomi yang menjadi tidak ekonomis. Hasilnya adalah defisit neraca perdagangan dan tingginya tingkat pengangguran. Peran AS dalam perdagangan dunia pun (ekspor) terus menurun, dari 18,2 persen tahun 1960 menjadi 12 persen tahun 1985.
Perdamaian
Tata dunia baru yang kini sedang mulai terbentuk akibat pergeseran itu tidak berarti datangnya "surga di bumi", sebuah dunia yang dengan sendirinya membenihkan perdamaian dan kesejahteraan bagi siapa saja. Sementara sistem perdagangan internasional mengangkat sejumlah negara ke arah kesejahteraan yang lebih baik, sejumlah negeri lain tetap tertinggal dalam kemiskinan, tanpa sedikit pun harapan perbaikan. Inilah ironi sistem perdagangan moderen.
Afrika misalnya. Dengan jumlah penduduk 650 juta (13 persen dari seluruh penduduk dunia), benua hitam ini hanya menikmati 3 persen dari total perdagangan dunia. Ketika dekade 1980-an buat banyak negeri lain seperti Singapura, Taiwan, Malaysia adalah dekade pertumbuhan ekonomi yang tinggi, buat Afrika dekade 1980-an itu adalah dekade yang hilang (the lost decade).
Bahkan menurut Barber B. Conable, mantan Presiden Bank Dunia, kemiskinan di Afrika sekarang tidak berbeda dengan kemiskinannya 30 tahun yang silam (RJ. Barnet, But What About Africa?, Harper's Magazine, May 1990). Maka salah satu persoalan besar yang harus dijawab adalah, mampukah sistem perdagangan dunia mengangkat nasib negeri-negeri seperti yang ada di Afrika ini, yang hampir tidak memiliki apapun selain tenaga kerja yang berkualitas rendah?
Maka yang perlu diciptakan dari momentum perdamaian sekarang ini bukan hanya negative peace (keadaan tanpa perang), tapi terlebih lagi adalah positive peace (keadaan tanpa keterbelakangan dan kesenjangan yang berlebihan). Tanpa positive peace ini, "paradigma" baru yang mulai dominan sejak 1960-an itu hanya akan mengingkari janjinya sendiri.
* Rizal Mallarangeng, staf pengajar Fisip UGM Yogyakarta. --Kini Direktur Freedom Institute, Jakarta.
Follow me :
Sabtu, 01 Mei 2010
Momentum Baru Perdamaian Dunia
Periode 1989-1991 melahirkan banyak perubahan besar, yang akan mempengaruhi bentuk dunia di masa mendatang. Bahkan cukup banyak sejarawan dan ahli ilmu politik yang menyamakan kurun 1989- 1991 ini dengan momentum-momentum lain yang mengubah dunia, seperti 1789 (Revolusi Perancis), 1917 (Revolusi Bolsyewik), dan 1945 (Rontoknya Nazisme dan Fasisme).
Salah satu hasil yang segera dirasakan adalah momentum perdamaian dunia seperti berakhirnya Perang Dingin, inisiatif pengurangan persenjataan nuklir AS, surutnya politik Apartheid di Afrika Selatan, mencairnya konflik Kamboja, hingga Konferensi Madrid tentang Timur Tengah baru-baru ini. Rangkaian peristiwa ini membangkitkan harapan banyak orang akan dunia yang lebih baik.
Akar kesejarahan Revolusi Perancis adalah bangkitnya kesadaran baru (renaissance) dan munculnya kelas menengah (borjuasi) di Eropa sejak abad ke-16. Demikian pula, akar kesejarahan Revolusi 1917 adalah membusuknya dinasti Tsar dan akibat-akibat buruk industrialisasi-tahap-awal. Maka pertanyaan yang penting saat ini: di manakah akar kesejarahan momentum perdamaian 1989-1991?
Untuk menjawab pertanyaan ini, berbagai pendekatan bisa digunakan. Tapi pendekatan yang tampaknya paling memuaskan adalah pendekatan yang berangkat dari sifat hubungan bangsa-bangsa. "Perdamaian dunia" adalah konsep besar. Ia adalah hasil interaksi bangsa-bangsa yang terpola, yang berlangsung dalam jangka waktu yang tidak singkat.
Mendekati persoalan ini hanya dari sudut runtuhnya komunisme, atau perubahan pola kebijakan luar negeri AS, atau munculnya Jepang dan Jerman sebagai kekuatan baru, sebagaimana yang selama ini sudah terlalu sering dilakukan, akan sangat menyederhanakan persoalan. Pendekatan semacam ini membuat kita melihat perkembangan dunia secara terpenggal-penggal, tidak utuh.
Dengan kata lain, akar kesejarahan momentum perdamaian baru ini harus dicari pada pergeseran "paradigma", atau sifat hubungan bangsa-bangsa. Begitu pula, dengan memahami pergeseran ini, kita bisa mengerti bentuk dan problematik utama The New World Order yang sudah terlalu sering didengungkan oleh Presiden AS George Bush.
Dari politik ke ekonomi
Ada dua jalan bagi bangsa-bangsa untuk mempertahankan atau meningkatkan martabatnya dalam pergaulan internasional. Pertama, jalan perdagangan. Kedua, jalan politik-militer. Jalan pertama ditempuh secara damai untuk menggalakkan "pembangunan ekonomi". Jalan kedua dilakukan untuk menduduki atau mempertahankan lingkup teritorial tertentu sebagai sumber bahan mentah atau daerah pemasaran.
Sejak lahirnya negara moderen di abad ke-16, kedua jalan itu silih berganti menjadi "paradigma" dalam hubungan bangsa-bangsa. Tapi hingga dua atau tiga dekade setelah Perang Dunia ke-2, yang sangat dominan adalah jalan politik-militer.
Ambisi-ambisi para pemimpin yang muncul di Eropa untuk meningkatkan martabat negerinya melalui jalan seperti ini, misalnya Philip II di Spanyol, Louis XIV dan Napoleon di Prancis, Peter Agung dan Stalin di Rusia, Bismarck di Prussia, Hitler di Jerman serta Mussolini di Italia, pada akhirnya melahirkan perang antarbangsa. Dalam abad-abad pertama kelahiran negara moderen, yang terjadi adalah rangkaian perang yang berulang secara teratur, sehingga lahirlah adagium "perdamaian adalah persiapan bagi peperangan yang lebih dahsyat".
Salah satu anak kandung dari jalan politik-militer adalah penjajahan bangsa-bangsa di Amerika Selatan, Afrika dan Asia. Untuk memonopoli sumber bahan mentah (kapas) dan daerah pasar bagi tekstilnya, Inggris menguasai India. Untuk merebut sumber rempah- rempah, Belanda mempertahankan penguasaan Hindia Belanda. Demikian pula Italia dan Prancis di Afrika, Jepang di Tiongkok, serta Spanyol dan Portugis di Amerika Selatan. Di sinilah bentuk kekerasan lain yang bukan perang, yaitu kekerasan struktural (penghisapan ekonomi), mengambil bentuknya yang paling menyedihkan.
Puncak dari "paradigma" hubungan antarbangsa demikian adalah dua perang besar (Perang Dunia ke-1 dan ke-2). Apa yang dialami dan dilakukan oleh Jepang menjelang Perang Dunia ke-2 adalah contoh yang baik dari bagaimana jalan politik-militer untuk menguasai sumber- sumber ekonomi akhirnya melahirkan perang besar. Buat Jepang sejak 1930-an, AS adalah pemasok logam dan minyak yang terbesar. Tapi akibat invasi Jepang ke Cina, pada 1940-41 Presiden Franklin D. Roosevelt melakukan embargo perdagangan.
Untuk mengganti pasokan minyak ini, Jepang melirik ke Asia Tenggara, terutama ke Hindia Belanda. Tapi di kawasan ini telah ada Inggris dan Belanda, yang menolak permintaan Jepang. Untuk merebut daerah minyak inilah, Jepang terlebih dahulu harus memotong jalur bantuan kekuatan AS : ia menyerbu Pearl Harbor dan memulai prahara di Pasifik.
Setelah 1945, jalan politik-militer tetap digunakan oleh dua negara adikuasa (superpower) yang muncul sesudah perang. Namun kali ini, penguasaan teritorial dan penanaman pengaruh tidak lagi semata- mata atas maksud ekonomi dan sabuk pengamanan, tetapi telah ditambah dan dibingkai oleh unsur-unsur ideologi (kapitalisme dan komunisme). Hasilnya adalah Perang Dingin.
Perang semacam ini menghasilkan bentuk kekerasan struktural yang lain lagi: perlombaan senjata antara dua blok ideologi dan kecemasan akibat potensi destruktif dari perang nuklir (menurut majalah Time, hingga Juni 1991 jumlah seluruh peluru kendali berkepala nuklir dalam berbagai jenis di kedua blok adalah 16.690; cukup untuk menghancurkan bumi beberapa puluh kali).
Di Dunia Ketiga -- istilah yang muncul setelah 1945 untuk menggambarkan negeri-negeri terbelakang pasca-koloni -- Perang Dingin ini ternyata meminta cucuran darah yang tidak sedikit. Inilah yang disebut proxy war. Di sini yang bertarung umumnya bukan kedua negara adikuasa itu sendiri, tetapi perbenturan kepentingan dan perebutan pengaruh di antara mereka menyebabkan, atau setidaknya mendorong, dua atau tiga negara Dunia Ketiga terlibat dalam peperangan yang dahsyat. Contoh yang baik untuk ini di antaranya adalah Perang Korea, Perang Vietnam, Invasi Vietnam di Kamboja, dan Perang Arab-Israel.
Sementara itu, sejak pertengahan tahun 1960-an "paradigma" lain, yaitu jalan perdagangan atau "pembangunan ekonomi", mulai mencuat dalam tindakan dan sifat hubungan antarbangsa. Ironisnya, yang menjadi ujung tombak dari "paradigma" baru ini adalah Jerman (Barat) dan Jepang, dua negara yang hanya beberapa tahun sebelumnya menjadi penganut ekstrim jalan politik-militer (Nazisme dan Fasisme) dan sama-sama mengalami kehancuran dalam Perang Dunia II.
Jika melalui "paradigma" lama keduanya hanya menemui kehancuran dan kegagalan, maka melalui jalan perdagangan keduanya mengibarkan bukti bahwa tanpa melalui kekuatan militer dan penaklukan wilayah pun, tapi dengan strategi ekspor dan industrialisasi yang tepat, negeri yang "hancur" dan "tertinggal" dapat mengubah nasibnya, berjaya, tegak di antara bangsa-bangsa. Pada pertengahan 1980-an, Jerman (Barat) dan Jepang telah menjadi kekuatan ekonomi yang melampaui Uni Soviet dan mendekati AS, dua negara yang hingga pertengahan 1980-an itu tetap sulit meninggalkan jalan politik- militer.
Sukses Jepang dan Jerman kemudian disusul oleh Hongkong, Taiwan, Korsel, Singapura. Sederetan negara lain kemudian menyusul di belakang mereka, seperti Mexico dan Brazil, Thailand dan Malaysia. Semua negeri inilah yang oleh Richard Rosencrance, dalam bukunya yang baru-baru ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Kebangkitan Negara Dagang -- perdagangan dan penaklukan di dunia moderen, Gramedia, 1991), disebut sebagai trading states. Negeri- negeri ini meningkatkan martabatnya dan mensejahterakan penduduknya melalui peluang-peluang yang diberikan oleh sistem perdagangan dunia.
Maka itulah, Richard Rosencrance, dalam bukunya mengatakan bahwa pergeseran "paradigma" dalam sifat hubungan bangsa-bangsa diakibatkan pertama-tama oleh perkembangan yang terjadi dalam sistem perdagangan internasional: sistem ini bisa memberi kesejahteraan dan kejayaan, sekaligus menjamin bahwa kebutuhan akan bahan-bahan produksi untuk itu dapat terpenuhi. Sebaliknya, jika menolak sistem perdagangan ini, sebuah negeri hanya akan memencilkan diri dari pertukaran internasional dan akhirnya terjebak dalam economic down- turn yang memiskinkan (seperti Myanmar).
Sisi lain di balik aspek perdagangan yang disebut oleh Rosen crance di atas adalah semakin mahalnya biaya perlombaan senjata dan pertahanan. Maka dalam dunia seperti sekarang ini, semakin aktif sebuah negeri terlibat dalam jalan politik-militer, semakin ia kehilangan peluang untuk lebih maju dalam sistem perdagangan dunia - - semakin banyak investasi yang kontra-produktif. Karena itu pula, cukup banyak ilmuwan politik yang berkata bahwa sebab-sebab keruntuhan Uni Soviet adalah anggaran pertahanannya yang irrasional (25 persen dari GDP).
Demikian pula dengan kesulitan ekonomi yang dialami Amerika Serikat akhir-akhir ini. Menurut Prof. Paul Kennedy, dalam bukunya yang sangat populer (The Rise and Fall of the Great Powers -- economic change and military conflict from 1500 to 2000, Vintage Books, 1989), AS tidak mungkin lagi mempertahankan tingkat kemakmurannya jika biaya pertahanan masih setinggi sekarang ini. Amerika sedang mengalami imperial overstretch: demi perlengkapan militer, terlalu banyak peluang-peluang ekonomi terlewatkan, terlalu banyak sumber-sumber ekonomi yang menjadi tidak ekonomis. Hasilnya adalah defisit neraca perdagangan dan tingginya tingkat pengangguran. Peran AS dalam perdagangan dunia pun (ekspor) terus menurun, dari 18,2 persen tahun 1960 menjadi 12 persen tahun 1985.
Perdamaian
Tata dunia baru yang kini sedang mulai terbentuk akibat pergeseran itu tidak berarti datangnya "surga di bumi", sebuah dunia yang dengan sendirinya membenihkan perdamaian dan kesejahteraan bagi siapa saja. Sementara sistem perdagangan internasional mengangkat sejumlah negara ke arah kesejahteraan yang lebih baik, sejumlah negeri lain tetap tertinggal dalam kemiskinan, tanpa sedikit pun harapan perbaikan. Inilah ironi sistem perdagangan moderen.
Afrika misalnya. Dengan jumlah penduduk 650 juta (13 persen dari seluruh penduduk dunia), benua hitam ini hanya menikmati 3 persen dari total perdagangan dunia. Ketika dekade 1980-an buat banyak negeri lain seperti Singapura, Taiwan, Malaysia adalah dekade pertumbuhan ekonomi yang tinggi, buat Afrika dekade 1980-an itu adalah dekade yang hilang (the lost decade).
Bahkan menurut Barber B. Conable, mantan Presiden Bank Dunia, kemiskinan di Afrika sekarang tidak berbeda dengan kemiskinannya 30 tahun yang silam (RJ. Barnet, But What About Africa?, Harper's Magazine, May 1990). Maka salah satu persoalan besar yang harus dijawab adalah, mampukah sistem perdagangan dunia mengangkat nasib negeri-negeri seperti yang ada di Afrika ini, yang hampir tidak memiliki apapun selain tenaga kerja yang berkualitas rendah?
Maka yang perlu diciptakan dari momentum perdamaian sekarang ini bukan hanya negative peace (keadaan tanpa perang), tapi terlebih lagi adalah positive peace (keadaan tanpa keterbelakangan dan kesenjangan yang berlebihan). Tanpa positive peace ini, "paradigma" baru yang mulai dominan sejak 1960-an itu hanya akan mengingkari janjinya sendiri.
* Rizal Mallarangeng, staf pengajar Fisip UGM Yogyakarta. --Kini Direktur Freedom Institute, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar