Follow me :

Sabtu, 29 Mei 2010

Aspirasi Mahasiswa

SMPT Belum Mewadahi Aspirasi Mahasiswa
Jakarta, Kompas
Senat mahasiswa perguruan tinggi (SMPT) sampai saat ini diakui belum bisa
menjadi wadah aspirasi mahasiswa. Banyak kegiatan kemahasiswaan di kampur
terhambat oleh birokrasi perizinan dari pimpinan perguruan tinggi yang
ditetapkan sebagai aturan main bagi SMPT. Di sisi lain, SMPT juga ternyata
belum diadopsi oleh semua perguruan tinggi di Indonesia.
Hal itu disampaikan beberapa tokoh mahasiswa dan pimpinan perguruan tinggi
di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, akhir pekan lalu. Mereka diminta
menanggapi sekitar aktivitas SMPT dan menghangatnya usulan untuk kembali
ke dewan mahasiswa (Dema).
Di sisi lain, usulan kembali kepada Dema mendapat tanggapan hati-hati
dari beberapa tokoh organisasi mahasiswa Ketua Senat Mahasiswa Universitas
Indonesia (SM-FEUI) Holil Baidowi, misalnya, menganggap usulan seperti itu
kurang realitis lagi untuk masa sekarang. Alasannya, karena banyak
perubahan telah terjadi dalam diri mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan.
"Sebenarnya untuk membuat mahasiswa mau mengerti SMPT saja tidak mudah.
Banyak di antara mereka (mahasiswa), termasuk di Universitas Diponegoro,
sekadar ingin kuliah, belajar dan mengejar SKS (satuan kredit semester).
Mereka tidak mau tahu dengan kegiatan kampus, apalagi masyarakat," ungkap
Heri Santoso, Ketua SM Fakultas Non-gelar Teknik Universitas Diponegoro
(Undip) Semarang.
Konsep SMPT, pada kenyataannya memang belum diadopsi semua perguruan tinggi
di Indonesia. Di Institut Teknologi Bandung (ITB), misalnya, sebagaimana
diakui Pembantu Rektor III ITB, Dr Indra Djati Sidi, sampai saat ini memang
belum ada SMPT. Semua kegiatan dan aktivitas mahasiswa dilaksanakan di
masing-masing himpunan dan jurusan yang seluruhnya berjumlah 23 himpunan.
"Kendati di ITB belum ada lembaga formal SMPT, tetapi secara substansial
semua kegiatan di Kampus Ganesha ini sudah mencerminkan apa yang tertuang
dalam SMPT," kata Indra, pembantu rektor yang membidangi kemahasiswaan itu.
Di Universitas Islam Yogyakarta (UII) seperti dituturkan Pembantu Rektor I
UII, Dr Mahfud MD, bentuk lembaga kemahasiswaan yang diambil disebut Dewan
Perwakilan Mahasiswa (DPM) yang mempunyai struktur seperti Dema tahun 1970-an.
"Namanya lain, tetapi isinya sama," tuturnya.
Mahfud mengungkapkan, pengambilan bentuk DPM itu sempat menimbulkan pertanyaan
dari kalangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mengingat strukturnya
tidak sama dengan senat mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Hal itu
pernah disampaikan langsung ke mahasiswa, akan tetapi para mahasiswa tetap
bersikukuh menggunakan nama DPM. "Oleh karena itu merupakan pilihan mereka,
ya akhirnya tetap dibiarkan menggunakan nama DPM, dan kenyataannya memang
tidak apa-apa," tambahnya.
Tergantung rektorat
Ketergantungan SMPT yang begitu besar terhadap pihak rektorat, terutama dalam
hal dana bagi kegiatan-kegiatan mahasiswa, menurut banyak pengurus di senat-
senat mahasiswa tingkat fakultas maupun SMPT, menyebabkan SMPT tidak bisa
menyalurkan banyak aspirasi mahasiswanya. Sikap sebagian mahasiswa yang tidak
mendukung pengembangan lembaga mahasiswa tersebut, juga menjadi salah satu
faktor penyebab dilakukan penyaluran aspirasi mahasiswa melalui wadah-wadah
lain di luar kampus.
Sebagai contoh, menurut Pembantu Rektor III Universitas Gadjah Mada (UGM)
Ir Bambang Kartika SU, semua unit kegiatan mahasiswa yang tergabung dalam
beberapa sekretariat bersama, masing-masing "ditunggui" dosen pembina.
Bersama dosen pembina inilah unit-unit kegiatan melakukan konsultasi dan
perencanaan kegiatan, sehingga ketika suatu perencanaan dimintakan pengesahan
ke pejabat yang lebih atas, jarang yang kemudian ditolak.
"Usulan perencanaan kegiatan yang berlingkup fakultas diketahui oleh Pembantu
Dekan (PD) III, sedang yang berlingkup universitas diketahui oleh Pembantu
Rektor (PR) III, dan yang berlingkup nasional perlu diketahui oleh rektor,"
kata Bambang. Oleh karena melalui dosen pembina itulah, dia menambahkan,
jarang usulan perencanaan kegiatan mahasiswa ditolak.
Aturan main pengesahan izin PD III dan PR III atau rektor memang menjadi
aturan main SMPT di seluruh universitas. Di beberapa fakultas, birokrasi
untuk memperoleh izin itu memang mudah, seperti yang diungkapkan Ketua
SM-FEUI. Akan tetapi di beberapa fakultas, sebagaimana diungkapkan Sekretaris
Umum Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia (SM-FISIP) Meily Badriati, birokrasi untuk memperoleh izin itu
cukup menyulitkan dan memakan waktu lama.
Meily menguraikan, seringkali proposal kegiatan yang diajukan diminta untuk
diperbaiki karena berbagai alasan. Meskipun proposal sudah baik, hasilnya belum
tentu disetujui, terutama bila berkaitan dengan orang-orang di luar kampus.
"Malahan ketika kami akan mengundang Iwan Fals dan Rendra untuk sebuah kegiatan
musik di kampus, kami tidak mendapatkan izin. Ada semacam cekal dari pihak
rektorat," ungkat Sekum SM-FISIP UI itu dibenarkan juga oleh Arief, mantan
pengurus SM-FISIP UI (1993-94).
Meily dan Arief menambahkan, adanya hambatan birokrasi untuk mengadakan
kegiatan di kampur itu akhirnya mendorong mahasiswa untuk melakukan aktivitas
di luar kampus, dengan bergabung kepada LSM atau organisasi kemahasiswaan
lainnya. "Salah satu contohnya adalah ketika kami dilarang untuk
menyelenggarakan Pentas Seni dan Dialog Solidaritas Bosnia di kampus.
Akhirnya kami mengadakan kegiatan itu di luar kampus dengan tidak memakai
nama FISIP UI," ujar Meily.
LSM
Di kalangan sebagian aktivitas mahasiswa sendiri, organisasi di luar
kampus saat ini dianggap lebih bisa menampung aspirasi mereka dibandingkan
SMPT. Sawaludin Lubis aktivis mahasiswa ITB dari jurusan Geofisika,
misalnya, menganggap LSM (lembaga swadaya masyarakat) sebagai lembaga yang
representatif untuk menampung semua aktivitas dan aspirasi mahasiswa ITB.
Konsep LSM itulah yang sudah diusulkan mahasiswa kepada rektor ITB, setelah
melalui referendum para mahasiswa pada tahun lalu.
Akan tetapi beberapa aktivis mahasiswa lain berpendapat, kurang otonomnya
SMPT sebetulnya bukan menjadi faktor penyebab utama sehingga timbul ketidak
puasan terhadap SMPT. Menurut Ketua Umum SM-UGM, Taufik Rinaldi, serangan
terhadap SM sebagai organisasi kemahasiswaan yang dianggap tidak otonom dan
tidak independen tidak bisa diterima.
"Kalau daya tawar mahasiswa masih kurang, saya sependapat. Mari kita buat
kekuatan mahasiswa mempunyai daya tawar yang kuat. Sedangkan kalau struktur
yang dinilai lemah oleh mereka yang menginginkan pembentukan Dema, menurut
saya tidak ada masalah apa-apa dengan struktur SMPT selama ini," katanya.
Pendapat yang sama juga disampaikan Holil Baidowi dari SM-FEUI.
Taufik menambahkan, masalah yang dihadapi organisasi kemahasiswaan Indonesia
sekarang ini bukan pada struktur, tetapi kultur berorganisasi mahasiswanya.
Hal senada juga diungkapkan Puguh Trisadono, aktivis mahasiswa Undip. Adanya
sikap yang pasif tersebut sebenarnya bukan saja dari sikap pemerintah melalui
NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan), tetapi
justru tumbuh dari mahasiswa sendiri karena kondisi lingkungan yang memaksanya.
"Sebenarnya berbagai kebijakan yang menghambat aktivitas mahasiswa itu kan
dapat saja disiasati. Buktinya tidak sedikit mahasiswa yang dapat aktif
dan kritis sekarang ini," tandasnya.
(Kompas, Senin, 30 Januari 1995)

Aspirasi Mahasiswa

SMPT Belum Mewadahi Aspirasi Mahasiswa
Jakarta, Kompas
Senat mahasiswa perguruan tinggi (SMPT) sampai saat ini diakui belum bisa
menjadi wadah aspirasi mahasiswa. Banyak kegiatan kemahasiswaan di kampur
terhambat oleh birokrasi perizinan dari pimpinan perguruan tinggi yang
ditetapkan sebagai aturan main bagi SMPT. Di sisi lain, SMPT juga ternyata
belum diadopsi oleh semua perguruan tinggi di Indonesia.
Hal itu disampaikan beberapa tokoh mahasiswa dan pimpinan perguruan tinggi
di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, akhir pekan lalu. Mereka diminta
menanggapi sekitar aktivitas SMPT dan menghangatnya usulan untuk kembali
ke dewan mahasiswa (Dema).
Di sisi lain, usulan kembali kepada Dema mendapat tanggapan hati-hati
dari beberapa tokoh organisasi mahasiswa Ketua Senat Mahasiswa Universitas
Indonesia (SM-FEUI) Holil Baidowi, misalnya, menganggap usulan seperti itu
kurang realitis lagi untuk masa sekarang. Alasannya, karena banyak
perubahan telah terjadi dalam diri mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan.
"Sebenarnya untuk membuat mahasiswa mau mengerti SMPT saja tidak mudah.
Banyak di antara mereka (mahasiswa), termasuk di Universitas Diponegoro,
sekadar ingin kuliah, belajar dan mengejar SKS (satuan kredit semester).
Mereka tidak mau tahu dengan kegiatan kampus, apalagi masyarakat," ungkap
Heri Santoso, Ketua SM Fakultas Non-gelar Teknik Universitas Diponegoro
(Undip) Semarang.
Konsep SMPT, pada kenyataannya memang belum diadopsi semua perguruan tinggi
di Indonesia. Di Institut Teknologi Bandung (ITB), misalnya, sebagaimana
diakui Pembantu Rektor III ITB, Dr Indra Djati Sidi, sampai saat ini memang
belum ada SMPT. Semua kegiatan dan aktivitas mahasiswa dilaksanakan di
masing-masing himpunan dan jurusan yang seluruhnya berjumlah 23 himpunan.
"Kendati di ITB belum ada lembaga formal SMPT, tetapi secara substansial
semua kegiatan di Kampus Ganesha ini sudah mencerminkan apa yang tertuang
dalam SMPT," kata Indra, pembantu rektor yang membidangi kemahasiswaan itu.
Di Universitas Islam Yogyakarta (UII) seperti dituturkan Pembantu Rektor I
UII, Dr Mahfud MD, bentuk lembaga kemahasiswaan yang diambil disebut Dewan
Perwakilan Mahasiswa (DPM) yang mempunyai struktur seperti Dema tahun 1970-an.
"Namanya lain, tetapi isinya sama," tuturnya.
Mahfud mengungkapkan, pengambilan bentuk DPM itu sempat menimbulkan pertanyaan
dari kalangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mengingat strukturnya
tidak sama dengan senat mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Hal itu
pernah disampaikan langsung ke mahasiswa, akan tetapi para mahasiswa tetap
bersikukuh menggunakan nama DPM. "Oleh karena itu merupakan pilihan mereka,
ya akhirnya tetap dibiarkan menggunakan nama DPM, dan kenyataannya memang
tidak apa-apa," tambahnya.
Tergantung rektorat
Ketergantungan SMPT yang begitu besar terhadap pihak rektorat, terutama dalam
hal dana bagi kegiatan-kegiatan mahasiswa, menurut banyak pengurus di senat-
senat mahasiswa tingkat fakultas maupun SMPT, menyebabkan SMPT tidak bisa
menyalurkan banyak aspirasi mahasiswanya. Sikap sebagian mahasiswa yang tidak
mendukung pengembangan lembaga mahasiswa tersebut, juga menjadi salah satu
faktor penyebab dilakukan penyaluran aspirasi mahasiswa melalui wadah-wadah
lain di luar kampus.
Sebagai contoh, menurut Pembantu Rektor III Universitas Gadjah Mada (UGM)
Ir Bambang Kartika SU, semua unit kegiatan mahasiswa yang tergabung dalam
beberapa sekretariat bersama, masing-masing "ditunggui" dosen pembina.
Bersama dosen pembina inilah unit-unit kegiatan melakukan konsultasi dan
perencanaan kegiatan, sehingga ketika suatu perencanaan dimintakan pengesahan
ke pejabat yang lebih atas, jarang yang kemudian ditolak.
"Usulan perencanaan kegiatan yang berlingkup fakultas diketahui oleh Pembantu
Dekan (PD) III, sedang yang berlingkup universitas diketahui oleh Pembantu
Rektor (PR) III, dan yang berlingkup nasional perlu diketahui oleh rektor,"
kata Bambang. Oleh karena melalui dosen pembina itulah, dia menambahkan,
jarang usulan perencanaan kegiatan mahasiswa ditolak.
Aturan main pengesahan izin PD III dan PR III atau rektor memang menjadi
aturan main SMPT di seluruh universitas. Di beberapa fakultas, birokrasi
untuk memperoleh izin itu memang mudah, seperti yang diungkapkan Ketua
SM-FEUI. Akan tetapi di beberapa fakultas, sebagaimana diungkapkan Sekretaris
Umum Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia (SM-FISIP) Meily Badriati, birokrasi untuk memperoleh izin itu
cukup menyulitkan dan memakan waktu lama.
Meily menguraikan, seringkali proposal kegiatan yang diajukan diminta untuk
diperbaiki karena berbagai alasan. Meskipun proposal sudah baik, hasilnya belum
tentu disetujui, terutama bila berkaitan dengan orang-orang di luar kampus.
"Malahan ketika kami akan mengundang Iwan Fals dan Rendra untuk sebuah kegiatan
musik di kampus, kami tidak mendapatkan izin. Ada semacam cekal dari pihak
rektorat," ungkat Sekum SM-FISIP UI itu dibenarkan juga oleh Arief, mantan
pengurus SM-FISIP UI (1993-94).
Meily dan Arief menambahkan, adanya hambatan birokrasi untuk mengadakan
kegiatan di kampur itu akhirnya mendorong mahasiswa untuk melakukan aktivitas
di luar kampus, dengan bergabung kepada LSM atau organisasi kemahasiswaan
lainnya. "Salah satu contohnya adalah ketika kami dilarang untuk
menyelenggarakan Pentas Seni dan Dialog Solidaritas Bosnia di kampus.
Akhirnya kami mengadakan kegiatan itu di luar kampus dengan tidak memakai
nama FISIP UI," ujar Meily.
LSM
Di kalangan sebagian aktivitas mahasiswa sendiri, organisasi di luar
kampus saat ini dianggap lebih bisa menampung aspirasi mereka dibandingkan
SMPT. Sawaludin Lubis aktivis mahasiswa ITB dari jurusan Geofisika,
misalnya, menganggap LSM (lembaga swadaya masyarakat) sebagai lembaga yang
representatif untuk menampung semua aktivitas dan aspirasi mahasiswa ITB.
Konsep LSM itulah yang sudah diusulkan mahasiswa kepada rektor ITB, setelah
melalui referendum para mahasiswa pada tahun lalu.
Akan tetapi beberapa aktivis mahasiswa lain berpendapat, kurang otonomnya
SMPT sebetulnya bukan menjadi faktor penyebab utama sehingga timbul ketidak
puasan terhadap SMPT. Menurut Ketua Umum SM-UGM, Taufik Rinaldi, serangan
terhadap SM sebagai organisasi kemahasiswaan yang dianggap tidak otonom dan
tidak independen tidak bisa diterima.
"Kalau daya tawar mahasiswa masih kurang, saya sependapat. Mari kita buat
kekuatan mahasiswa mempunyai daya tawar yang kuat. Sedangkan kalau struktur
yang dinilai lemah oleh mereka yang menginginkan pembentukan Dema, menurut
saya tidak ada masalah apa-apa dengan struktur SMPT selama ini," katanya.
Pendapat yang sama juga disampaikan Holil Baidowi dari SM-FEUI.
Taufik menambahkan, masalah yang dihadapi organisasi kemahasiswaan Indonesia
sekarang ini bukan pada struktur, tetapi kultur berorganisasi mahasiswanya.
Hal senada juga diungkapkan Puguh Trisadono, aktivis mahasiswa Undip. Adanya
sikap yang pasif tersebut sebenarnya bukan saja dari sikap pemerintah melalui
NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan), tetapi
justru tumbuh dari mahasiswa sendiri karena kondisi lingkungan yang memaksanya.
"Sebenarnya berbagai kebijakan yang menghambat aktivitas mahasiswa itu kan
dapat saja disiasati. Buktinya tidak sedikit mahasiswa yang dapat aktif
dan kritis sekarang ini," tandasnya.
(Kompas, Senin, 30 Januari 1995)

PERANAN MAHASISWA DALAM KEHHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Apa yang terlintas dibenak kita ketika kita mendengar kata”mahasiswa”, mungkin tidak hanya satu jawaban yag akan terucap dari banyak orang dengan beranekaragam latar belakang pendidikan. Mahasiswa merupakan sebuah status yang disandang seseorang ketika ia menjalani pendidikan formal pada sebuah perguruan tinggi. Seseorang dapat dikatakan sebagai seorang mahasiswa apabila ia tercatat sebagai mahasiswa secara administrasi sebuah perguruan tinggi yang tentunya mengikuti kegiatan belajar dan mengajar serta kegiatan lainnya. Status ini menjadi mutlak apabila kita berbicara dalam konteks pendidikan formal. Ternyata dbalik statusnya itu, masih banyak sekali peranan seorang yang menyandang status mahasiswa untuk menunjukkan peranannya pada kehidupan masyarakat terlebih lagi pada tingkat kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sejarah membuktikan bagaimana kekuatan mahasiswa dalam pergantian rezim yang diktator menuju perubahan kearah lebih baik, sebagai contoh gerakan mahasiswa bersama komponen bangsa lainnya yang ketika itu masyarakat,parpol dan ABRI dalam menyuarakan TriTura(Tiga Tuntutan Rakyat) yang berhasil menggantikan rezim kekuasaan saat itu yang dinilai cenderung terlau berpihak pada haluan kiri. Kemudian bagaimana peristiwa Malari(Petaka Lima Belas Januari) yang dimotori oleh Hariman Siregar yang notabene sebagai mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, dan masih membekas diingatan kita ketika kekuatan mahasiswa untuk menggulingkan rezim orde baru yang otoriter yang telah berkuasa selama 32 tahun. Itu merupakan bukti-bukti nyata dimana mahasiswa menunjukkan peranannya dikancah perpolitikan nasional yang tentunya untuk menciptakan keselarasan menuju masyarakat yang makmur sentosa, meskipun sampai sekarang buah tangan dari perjuangan mahsiswa tersebut masih jauh panggang dari api. Sehinnga dapat disimpulkan bahwa kekuatan mahasiswa dalam kancah perpolitikan nasional menjadi patut diperhitungkan sebagai gerakan yang murni membela kepentingan rakyat semata.

Sekarang mari kita tengok aktivitas mahasiswa zaman sekarang, Amien Rais pernah mengutarakan intensitas dan kualitas dari gerakan kemahasiswaan cenderung mengalami penurunan seiring datangya era globalisasi ke negeri kita tercinta ini, kebanyakan dari mahasiswa lebih banyak menghabiskan waktunya dengan kegiatan yang kurang jelas manfaatnya, forum-forum diskusi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kenegaraan tidak pernah dijejali oleh mahasiswa sebaliknya tempat-tempat hiburan malah disesaki para mahasiswa. Penulis tidak melarang tentunya sebatas itu tidak melanggar syariat, karena sebagai manusia tentunya kita juga butuh yang namanya hiburan. Tetapi hal itu juga harus disaring dengan kekuatan iman kita. Kembali kepada kualitas gerakan kemahsiswaan masa sekarang yang cenderung menurun, maka sadar atupun tidak itu merupakan efek dari masuknya era globalisasi ke indonesia tanpa diharmonisasi dengan manajemen waktu dan diri yang baik. Untuk membangun citra mahasiswa sebagai agen pembaharu ataupun kaum intelektual yang mana dipundaknya ada masa depan bangsa ini yang akan dilabuhkan dimana, maka kita harus memupuk rasa persaudaraan dan senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita. Selain itu tentunya kita perlu membangun konsep intelektual dalam gerakan yang sinergi dan terarah menuju masyarakat yang adil dan makmur. Sehingga kedepan mahasiswa tidak hanya dikenal lewat aktivitasnya ketika menjalani perkuliahan saja,tetapi sebagai elemen bangsa yang peka terhadap kondisi permasalahan disekitarnya .Semoga.

Kamis, 27 Mei 2010

PENGEMBANGAN STRATEGI PERTAHANAN UNTUK MENANGGULANGI KEMUNGKINAN DISINTEGRASI BANGSA DALAM RANGKA MENINGKATKAN KETAHANAN NASIONAL Hasil Panye


Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengandung potensi kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan etnis golongan, hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi timbulnya konflik sosial. Dengan semakin marak dan meluasnya konflik akhir-akhir ini, merupakan suatu pertanda menurunnya rasa nasionalisme di dalam masyarakat.



Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang bernuasa SARA, serta munculya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI akibat dari ketidak puasan dan perbedaan kepentingan, apabila kondisi ini tidak dimanage dengan baik akhirnya akan berdampak pada disintegrasi bangsa.



Masalah disintegrasi bangsa merupakan salah satu prioritas pokok dalam program kerja kabinet gotong royong. Permasalahan ini sangat kompleks sebagai akibat akumulasi permasalahan Ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan yang saling tumpang tindih, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan bijaksana untuk menanggulangi sampai pada akar permasalahannya maka akan menjadi problem yang berkepanjangan.



Bentuk-bentuk pengumpulan massa yang dapat menciptakan konflik horizontal maupun konflik vertikal harus dapat diantisipasi guna mendapatkan solusi tepat dan dapat meredam segala bentuk konflik yang terjadi. Kepemimpinan dari tingkat elit politik nasional hingga kepemimpinan daerah sangat menentukan untuk menanggulangi konflik pada skala dini.



Upaya mengatasi disintegrasi bangsa perlu diketahui terlebih dahulu karakteristik proses terjadinya disintegrasi secara komprehensif serta dapat menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pada tahap selanjutnya. Keutuhan NKRI merupakan suatu perwujudan dari kehendak seluruh komponen bangsa diwujudkan secara optimal dengan mempertimbangkan seluruh faktor-faktor yang berpengaruh secara terpadu, meliputi upaya-upaya yang dipandang dari aspek asta gatra.



Fenomena Disintegrasi Bangsa

Bila dicermati adanya gerakan pemisahan diri sebenarnya sering tidak berangkat dari idealisme untuk berdiri sendiri akibat dari ketidak puasan yang mendasar dari perlakuan pemerintah terhadap wilayah atau kelompok minoritas seperti masalah otonomi daerah, keadilan sosial, keseimbangan pembangunan, pemerataan dan hal-hal yang sejenis.



Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa di tanah air dewasa ini yang dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian, gelombang reformasi yang tengah berjalan menimbulkan berbagai kecenderungan dan realitas baru. Segala hal yang terkait dengan Orde Baru termasuk format politik dan paradigmanya dihujat dan dibongkar. Bermunculan pula aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan menjamurnya partai-partai politik baru. Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau merdeka yang dengan sendirinya makin menambah problem, manakala diwarnai terjadinya konflik dan benturan antar etnik dengan segala permasalahannya.



Penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/ berlebih, sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi.



Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa ini. Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus kearah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan.



Faktor Disintegrasi Bangsa ditinjau dari Asta Gatra

a. Geografi. Indonesia yang terletak pada posisi silang dunia merupakan letak yang sangat strategis untuk kepentingan lalu lintas perekonomian dunia selain itu juga memiliki berbagai permasalahan yang sangat rawan terhadap timbulnya disintegrasi bangsa. Dari ribuan pulau yang dihubungkan oleh laut memiliki karakteristik yang berbeda-beda dengan kondisi alamnya yang juga sangat berbeda-beda pula menyebabkan munculnya kerawanan sosial yang disebabkan oleh perbedaan daerah misalnya daerah yang kaya akan sumber kekayaan alamnya dengan daerah yang kering tidak memiliki kekayaan alam dimana sumber kehidupan sehari-hari hanya disubsidi dari pemerintah dan daerah lain atau tergantung dari daerah lain.

b. Demografi. Jumlah penduduk yang besar, penyebaran yang tidak merata, sempitnya lahan pertanian, kualitas SDM yang rendah berkurangnya lapangan pekerjaan, telah mengakibatkan semakin tingginya tingkat kemiskinankarena rendahnya tingkat pendapatan, ditambah lagi mutu pendidikan yang masih rendah yang menyebabkan sulitnya kemampuan bersaing dan mudah dipengaruhi oleh tokoh elit politik/intelektual untuk mendukung kepentingan pribadi atau golongan.

c. Kekayaan Alam. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah baik hayati maupun non hayati akan tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi negara Industri, walaupun belum secara keseluruhan dapat digali dan di kembangkan secara optimal namun potensi ini perlu didayagunakan dan dipelihara sebaik-baiknya untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat dalam peran sertanya secara berkeadilan guna mendukung kepentingan perekonomian nasional.

d. Ideologi. Pancasila merupakan alat pemersatu bangsa Indonesia dalam penghayatan dan pengamalannya masih belum sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai dasar Pancasila, bahkan saat ini sering diperdebatkan. Ideologi pancasila cenderung tergugah dengan adanya kelompok-kelompok tertentu yang mengedepankan faham liberal atau kebebasan tanpa batas, demikian pula faham keagamaan yang bersifat ekstrim baik kiri maupun kanan.

e. Politik. Berbagai masalah politik yang masih harus dipecahkan bersama oleh bangsa Indonesia saat ini seperti diberlakukannya Otonomi daerah, sistem multi partai, pemisahan TNI dengan Polri serta penghapusan dwi fungsi BRI, sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang belum dapat diselesaikan secara tuntas karena berbagai masalah pokok inilah yang paling rawan dengan konflik sosial berkepanjangan yang akhirnya dapat menyebabkan timbulnya disintegrasi bangsa.

f. Ekonomi. Sistem perekonomian Indonesia yang masih mencari bentuk, yang dapat pemberdayakan sebagian besar potensi sumber daya nasional, serta bentuk-bentuk kemitraan dan kesejajaran yang diiringi dengan pemberantasan terhadap KKN. Hal ini dihadapkan dengan krisis moneter yang berkepanjangan, rendahnya tingkat pendapatan masyarakat dan meningkatnya tingkat pengangguran serta terbatasnya lahan mata pencaharian yang layak.

g. Sosial Budaya. Kemajemukan bangsa Indonesia memiliki tingkat kepekaan yang tinggi dan dapat menimbulkan konflik etnis kultural. Arus globalisasi yang mengandung berbagai nilai dan budaya dapat melahirkan sikap pro dan kontra warga masyarakat yang terjadi adalah konflik tata nilai. Konflik tata nilai akan membesar bila masing-masing mempertahankan tata nilainya sendiri tanpa memperhatikan yang lain.

h. Pertahanan dan Keamanan. Bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara yang terjadi saat ini menjadi bersifat multi dimensional yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, hal ini seiring dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi dan

komunikasi. Serta sarana dan prasarana pendukung didalam pengamanan bentuk ancaman yang bersifat multi dimensional yang bersumber dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya.



Proses Terjadinya Disintegrasi Bangsa.

Disintegrasi bangsa dapat terjadi karena adanya konflik vertikal dan horizontal serta konflik komunal sebagai akibat tuntutan demokrasi yang melampaui batas, sikap primodialisme bernuansa SARA, konflik antara elite politik, lambatnya pemulihan ekonomi, lemahnya penegakan hukum dan HAM serta kesiapan pelaksanaan Otonomi Daerah.



Dari hasil penelitian diatas dapatlah dianalisis dengan menggunakan pisau astra gatra sebagai berikut :

a. Geografi. Letak Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan kepulauan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Daerah yang berpotensi untuk memisahkan diri adalah daerah yang paling jauh dari ibu kota, atau daerah yang besar pengaruhnya dari negara tetangga atau daerah perbatasan, daerah yang mempunyai pengaruh global yang besar, seperti daerah wisata, atau daerah yang memiliki kakayaan alam yang berlimpah.

b. Demografi. Pengaruh (perlakuan) pemerintah pusat dan pemerataan atau penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan faktor dari terjadinya disintegrasi bangsa, selain masih rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan SDM.

c. Kekayaan Alam. Kekayaan alam Indonesia yang sangat beragam dan berlimpah dan penyebarannya yang tidak merata dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya disintegrasi bangsa, karena hal ini meliputi hal-hal seperti pengelolaan, pembagian hasil, pembinaan apabila terjadi kerusakan akibat dari pengelolaan.

d. Ideologi. Akhir-akhir ini agama sering dijadikan pokok masalah didalam terjadinya konflik di negara ini, hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap agama yang dianut dan agama lain. Apabila kondisi ini tidak ditangani dengan bijaksana pada akhirnya dapat menimbulkan terjadinya kemungkinan disintegrasi bangsa, oleh sebab itu perlu adanya penanganan khusus dari para tokoh agama mengenai pendalaman masalah agama dan komunikasi antar pimpinan umat beragama secara berkesinambungan.

e. Politik. Masalah politik merupakan aspek yang paling mudah untuk menyulut berbagai ketidak nyamanan atau ketidak tenangan dalam bermasyarakat dan sering mengakibatkan konflik antar masyarakat yang berbeda faham apabila tidak ditangani dengan bijaksana akan menyebabkan konflik sosial di dalam masyarakat. Selain itu ketidak sesuaian kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang diberlakukan pada pemerintah daerah juga sering menimbulkan perbedaan kepentingan yang akhirnya timbul konflik sosial karena dirasa ada ketidak adilan didalam pengelolaan dan pembagian hasil atau hal-hal lain seperti perasaan pemerintah daerah yang sudah mampu mandiri dan tidak lagi membutuhkan bantuan dari pemerintah pusat, konflik antar partai, kabinet koalisi yang melemahkan ketahanan nasional dan kondisi yang tidak pasti dan tidak adil akibat ketidak pastian hukum.

f. Ekonomi. Krisis ekonomi yang berkepanjangan semakin menyebabkan sebagian besar penduduk hidup dalam taraf kemiskinan. Kesenjangan sosial masyarakat Indonesia yang semakin lebar antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dan adanya indikasi untuk mendapatkan kekayaan dengan tidak wajar yaitu melalui KKN.

g. Sosial Budaya. Pluralitas kondisi sosial budaya bangsa Indonesia merupakan sumber konflik apabila tidak ditangani dengan bijaksana. Tata nilai yang berlaku di daerah yang satu tidak selalu sama dengan daerah yang lain. Konflik tata nilai yang sering terjadi saat ini yakni konflik antara kelompok yang keras dan lebih modern dengan kelompok yang relatif terbelakang.

h. Pertahanan Keamanan. Kemungkinan disintegrasi bangsa dilihat dari aspek pertahanan keamanan dapat terjadi dari seluruh permasalahan aspek asta gatra itu sendiri. Dilain pihak turunnya wibawa TNI dan Polri akibat kesalahan dimasa lalu dimana TNI dan Polri digunakan oleh penguasa sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya bukan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.



Kebijakan Penanggulangan.

Adapun kebijakan yang diperlukan guna memperkukuh upaya integrasi nasional adalah sebagai berikut :

a. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.

b. Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus.

c. Membangun kelembagaan (Pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.

d. Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.

e. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif.



Strategi Penanggulangan

Adapun strategi yang digunakan dalam penanggulangan disintegrasi bangsa antara lain :

a. Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan, agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia.

b. Menghilangkan kesempatan untuk berkembangnya primodialisme sempit pada setiap kebijaksanaan dan kegiatan, agar tidak terjadi KKN.

c. Meningkatkan ketahanan rakyat dalam menghadapi usaha-usaha pemecahbelahan dari anasir luar dan kaki tangannya.

d. Penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasi butir-butir Pancasila, dalam rangka melestarikan dan menanamkan kesetiaan kepada ideologi bangsa.

e. Menumpas setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi.

f. Membentuk satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri dalam memerangi separatis.

g. Melarang, dengan melengkapi dasar dan aturan hukum setiap usaha untuk menggunakan kekuatan massa.



Upaya Penanggulangan.

Dari hasil analisis diperlukan suatu upaya pembinaan yang efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat guna memperkukuh integrasi nasional antara lain :

a. Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.

b. Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun consensus.

c. Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.

d. Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.

e. Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan bijaksana, serta efektif.



Kesimpulan

Dari hasil analisis penelitian tersebut diatas dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut :

a. Disintegrasi bangsa, separatisme merupakan permasalahan kompleks, akibat akumulasi permasalahan politik, ekonomi dan keamanan yang saling tumpang tindih sehingga perlu penanganan khusus dengan pendekatan yang arif serta mengutamakan aspek hukum, keadilan, sosial budaya.

b. Pemberlakuan Otonomi Daerah merupakan implikasi positif bagi masa depan daerah di Indonesia namun juga berpotensi untuk menciptakan mengentalnya heterogental dibidang SARA.

c. Pertarungan elit politik yang diimplementasikan kepada penggalangan massa yang dapat menciptakan konflik horizintal maupun vertical harus dapat diantisipasi.

d. Kepemimpinan dari elit politik nasional hingga kepemimpinan daerah sangat menentukan meredamnya konflik pada skala dini. Namun pada skala kejadian diperlukan profesionalisme aparat kemanan secara terpadu.

e. Efek global, regional dengan faham demokrasi yang bergulir saat ini perlu diantisipasi dengan penghayatan wawasan kebangsaan melalui edukasi dan sosialisasi.



Saran.

Untuk mendukung terciptanya keberhasil suatu kebijaksanaan dan strategi pertahanan disarankan :

a. Penyelesaian konflik vertikal yang bernuansa separatisme bersenjata harus diselesaikan dengan pendekatan militer terbatas dan professional guna menghindari korban dikalangan masyarakat dengan memperhatikan aspek ekonomi dan sosial budaya serta keadilan yang bersandar pada penegakan hukum.

b. Penyelesaian konflik horizontal yang bernuansa SARA diatasi melalui pendekatan hukum dan HAM.

c. Penyelesaian konflik akibat peranan otonomi daerah yang menguatkan faktor perbedaan, disarankan kepemimpinan daerah harus mampu meredam dan memberlakukan reward and punishment dari strata pimpinan diatasnya.

d. Guna mengantisipasi segala kegiatan separatisme ataupun kegiatan yang berdampak disintegrasi bangsa perlu dibangun dan ditingkatkan institusi inteligen yang handal.



Daftar Pustaka

- Rizasihbudi CS, “Bara Dalam Sekam” Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas Konflik Lokal Di Aceh, Maluku, dan Riau, LIPI dan Kronik Indonesia Baru, Cetak I Januari 2001.

- Surjanto, Brigadir Jenderal TNI, “Mengatasi Gerakan Sparatis di Irian Jaya dengan Pendekatan Ketahanan Nasional”, Jakarta, Lemhannas, 2001.

- HB. Amiruddin Maulana, Drs, SH, Msi. “Menjaga Kepantingan Nasional Melalui Pelaksanaan Otonomi Daerah Guna Mencegah Terjadinya Disintegrasi Bangsa”, Jakarta, Lemhannas, 2001.

- Sudrajat, MPA, Mayor Jenderal TNI, “Mengatasi Gerakan Sparatis di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dengan Pendekatan Ketahanan Nasional”, Jakarta, Lemhannas, 2001.

SUMBER :uletinlitbbang.dephan.go.id

- Amirul Isnaini, Mayor Jenderal TNI, “Mencegah Keinginan beberapa Daerah Untuk Memisahkan Diri dari Tegak Utuhnya NKRI”, Jakarta, Lemhannas, 2001.

- Samuel P. Huntington, “The Clash of Civilization remaking of World Order” A Touchstone Book Published by Simon R Schuster. First Fouchstone Edition 1997.

Kerusuhan Atau Konflik Sosial


Kerusuhan atau Konflik Sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi huru-hara/kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di suatu daerah tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan, suku, ataupun organisasi tertentu.



Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengandung potensi kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan etnis golongan, hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi timbulnya konflik. Dengan semakin marak dan meluasnya konflik akhir-akhir ini, merupakan suatu pertanda menurunnya rasa nasionalisme di dalam masyarakat.



Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang bernuansa SARA, serta munculya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI akibat dari ketidakpuasan dan perbedaan kepentingan. Apabila kondisi ini tidak dikelola dengan baik akhirnya akan berdampak pada disintegrasi bangsa. Permasalahan ini sangat kompleks sebagai akibat akumulasi permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan yang saling tumpang tindih, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan bijaksana untuk menanggulangi sampai pada akar permasalahannya maka akan menjadi problem yang berkepanjangan.



Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa di tanah air dewasa ini yang dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian, gelombang reformasi yang tengah berjalan menimbulkan berbagai kecenderungan dan realitas baru. Segala hal yang terkait dengan Orde Baru termasuk format politik dan paradigmanya dihujat dan dibongkar. Bermunculan pula aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan menjamurnya partai-partai politik baru. Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau merdeka yang dengan sendirinya makin menambah problem, manakala diwarnai terjadinya konflik dan benturan antar etnik dengan segala permasalahannya.



Penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/ berlebih, sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi.



Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa ini. Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama. Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi masyarakat. Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus ke arah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan.

Kebijakan Penanggulangan.

Adapun kebijakan yang diperlukan guna memperkukuh upaya integrasi nasional adalah sebagai berikut :

Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.
Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus.
Membangun kelembagaan (Pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.
Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif.

Strategi Penanggulangan

Adapun strategi yang digunakan dalam penanggulangan disintegrasi bangsa antara lain :

Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan, agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia.
Menghilangkan kesempatan untuk berkembangnya primodialisme sempit pada setiap kebijaksanaan dan kegiatan, agar tidak terjadi KKN.
Meningkatkan ketahanan rakyat dalam menghadapi usaha-usaha pemecahbelahan dari anasir luar dan kaki tangannya.
Penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasi butir-butir Pancasila, dalam rangka melestarikan dan menanamkan kesetiaan kepada ideologi bangsa.
Menumpas setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi.
Membentuk satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri dalam memerangi separatis.
Melarang, dengan melengkapi dasar dan aturan hukum setiap usaha untuk menggunakan kekuatan massa.

Untuk mendukung terciptanya keberhasilan suatu kebijaksanaan dan strategi pertahanan disarankan :

Penyelesaian konflik vertikal yang bernuansa separatisme bersenjata harus diselesaikan dengan pendekatan militer terbatas dan professional guna menghindari korban dikalangan masyarakat dengan memperhatikan aspek ekonomi dan sosial budaya serta keadilan yang bersandar pada penegakan hukum.
Penyelesaian konflik horizontal yang bernuansa SARA diatasi melalui pendekatan hukum dan HAM.
Penyelesaian konflik akibat peranan otonomi daerah yang menguatkan faktor perbedaan, disarankan kepemimpinan daerah harus mampu meredam dan memberlakukan reward and punishment dari strata pimpinan diatasnya.
Guna mengantisipasi segala kegiatan separatisme ataupun kegiatan yang berdampak
disintegrasi bangsa perlu dibangun dan ditingkatkan institusi inteligen yang handal.

SUMBER :tagana.wordpress.com

Sabtu, 08 Mei 2010

Keragaman Budaya Indonesia


Pendahuluan

Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesia turut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga memcerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan.

Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Dan tak kalah pentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakat Indonesia mempunyai jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang dirangkai sejak dulu. Interaksi antar kebudayaan dijalin tidak hanya meliputi antar kelompok sukubangsa yang berbeda, namun juga meliputi antar peradaban yang ada di dunia. Labuhnya kapal-kapal Portugis di Banten pada abad pertengahan misalnya telah membuka diri Indonesia pada lingkup pergaulan dunia internasional pada saat itu. Hubungan antar pedagang gujarat dan pesisir jawa juga memberikan arti yang penting dalam membangun interaksi antar peradaban yang ada di Indonesia. Singgungan-singgungan peradaban ini pada dasarnya telah membangun daya elasitas bangsa Indonesia dalam berinteraksi dengan perbedaan. Disisi yang lain bangsa Indonesia juga mampu menelisik dan mengembangkan budaya lokal ditengah-tengah singgungan antar peradaban itu.

Bukti Sejarah

Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel. Misalnya kebudayaan kraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel dengan kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks kekinian dapat kita temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban dapat berjalan paralel dengan kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan kebudayaan berburu meramu yang hidup jauh terpencil. Hubungan-hubungan antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam bingkai ”Bhinneka Tunggal Ika” , dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan.

Didasari pula bahwa dengan jumlah kelompok sukubangsa kurang lebih 700’an sukubangsa di seluruh nusantara, dengan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta keragaman agamanya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang sesungguhnya rapuh. Rapuh dalam artian dengan keragaman perbedaan yang dimilikinya maka potensi konflik yang dipunyainya juga akan semakin tajam. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat akan menjadi pendorong untuk memperkuat isu konflik yang muncul di tengah-tengah masyarakat dimana sebenarnya konflik itu muncul dari isu-isu lain yang tidak berkenaan dengan keragaman kebudayaan. Seperti kasus-kasus konflik yang muncul di Indonesia dimana dinyatakan sebagai kasus konflik agama dan sukubangsa. Padahal kenyataannya konflik-konflik tersebut didominsi oleh isu-isu lain yang lebih bersifat politik dan ekonomi. Memang tidak ada penyebab yang tunggal dalam kasus konflik yang ada di Indonesia. Namun beberapa kasus konflik yang ada di Indonesia mulai memunculkan pertanyaan tentang keanekaragaman yang kita miliki dan bagaimana seharusnya mengelolanya dengan benar.

Peran pemerintah: penjaga keanekaragaman

Sesungguhnya peran pemerintah dalam konteks menjaga keanekaragaman kebudayaan adalah sangat penting. Dalam konteks ini pemerintah berfungsi sebagai pengayom dan pelindung bagi warganya, sekaligus sebagai penjaga tata hubungan interaksi antar kelompok-kelompok kebudayaan yang ada di Indonesia. Namun sayangnya pemerintah yang kita anggap sebagai pengayom dan pelindung, dilain sisi ternyata tidak mampu untuk memberikan ruang yang cukup bagi semua kelompok-kelompok yang hidup di Indonesia. Misalnya bagaimana pemerintah dulunya tidak memberikan ruang bagi kelompok-kelompok sukubangsa asli minoritas untuk berkembang sesuai dengan kebudayaannya. Kebudayaan-kebudayaan yang berkembang sesuai dengan sukubangsa ternyata tidak dianggap serius oleh pemerintah. Kebudayaan-kebudayaan kelompok sukubangsa minoritas tersebut telah tergantikan oleh kebudayaan daerah dominant setempat, sehingga membuat kebudayaan kelompok sukubangsa asli minoritas menjadi tersingkir. Contoh lain yang cukup menonjol adalah bagaimana misalnya karya-karya seni hasil kebudayaan dulunya dipandang dalam prespektif kepentingan pemerintah. Pemerintah menentukan baik buruknya suatu produk kebudayaan berdasarkan kepentingannya. Implikasi yang kuat dari politik kebudayaan yang dilakukan pada masa lalu (masa Orde Baru) adalah penyeragaman kebudayaan untuk menjadi “Indonesia”. Dalam artian bukan menghargai perbedaan yang tumbuh dan berkembang secara natural, namun dimatikan sedemikian rupa untuk menjadi sama dengan identitas kebudayaan yang disebut sebagai ”kebudayaan nasional Indonesia”. Dalam konteks ini proses penyeragaman kebudayaan kemudian menyebabkan kebudayaan yang berkembang di masyarakat, termasuk didalamnya kebudayaan kelompok sukubangsa asli dan kelompok marginal, menjadi terbelakang dan tersudut. Seperti misalnya dengan penyeragaman bentuk birokrasi yang ada ditingkat desa untuk semua daerah di Indonesia sesuai dengan bentuk desa yang ada di Jawa sehingga menyebabkan hilangnya otoritas adat yang ada dalam kebudayaan daerah.

Tidak dipungkiri proses peminggiran kebudayaan kelompok yang terjadi diatas tidak lepas dengan konsep yang disebut sebagai kebudayaan nasional, dimana ini juga berkaitan dengan arah politik kebudayaan nasional ketika itu. Keberadaan kebudayaan nasional sesungguhnya adalah suatu konsep yang sifatnya umum dan biasa ada dalam konteks sejarah negara modern dimana ia digunakan oleh negara untuk memperkuat rasa kebersamaan masyarakatnya yang beragam dan berasal dari latar belakang kebudayaan yang berbeda. Akan tetapi dalam perjalanannya, pemerintah kemudian memperkuat batas-batas kebudayaan nasionalnya dengan menggunakan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang dimilikinya. Keadaan ini terjadi berkaitan dengan gagasan yang melihat bahwa usaha-usaha untuk membentuk suatu kebudayaan nasional adalah juga suatu upaya untuk mencari letigimasi ideologi demi memantapkan peran pemerintah dihadapan warganya. Tidak mengherankan kemudian, jika yang nampak dipermukaan adalah gejala bagaimana pemerintah menggunakan segala daya upaya kekuatan politik dan pendekatan kekuasaannya untuk ”mematikan” kebudayaan-kebudayaan local yang ada didaerah atau kelompok-kelompok pinggiran, dimana kebudayaan-kebudayaan tersebut dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan nasional.

Setelah reformasi 1998, muncul kesadaran baru tentang bagaimana menyikapi perbedaan dan keanekaragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Yaitu kesadaran untuk membangun masyarakat Indonesia yang sifatnya multibudaya, dimana acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multibudaya adalah multibudayaisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan,1999). Dalam model multikultural ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut. Model multibudayaisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.

Sebagai suatu ideologi, multikultural harus didukung dengan sistem infrastuktur demokrasi yang kuat serta didukung oleh kemampuan aparatus pemerintah yang mumpuni karena kunci multibudayaisme adalah kesamaan di depan hukum. Negara dalam hal ini berfungsi sebagai fasilitator sekaligus penjaga pola interaksi antar kebudayaan kelompok untuk tetap seimbang antara kepentingan pusat dan daerah, kuncinya adalah pengelolaan pemerintah pada keseimbangan antara dua titik ekstrim lokalitas dan sentralitas. Seperti misalnya kasus Papua dimana oleh pemerintah dibiarkan menjadi berkembang dengan kebudayaan Papuanya, namun secara ekonomi dilakukan pembagian kue ekonomi yang adil. Dalam konteks waktu, produk atau hasil kebudayaan dapat dilihat dalam 2 prespekif yaitu kebudayaan yang berlaku pada saat ini dan tinggalan atau produk kebudayaan pada masa lampau.

Menjaga keanekaragaman budaya

Dalam konteks masa kini, kekayaan kebudayaan akan banyak berkaitan dengan produk-produk kebudayaan yang berkaitan 3 wujud kebudayaan yaitu pengetahuan budaya, perilaku budaya atau praktek-praktek budaya yang masih berlaku, dan produk fisik kebudayaan yang berwujud artefak atau banguna. Beberapa hal yang berkaitan dengan 3 wujud kebudayaan tersebut yang dapat dilihat adalah antara lain adalah produk kesenian dan sastra, tradisi, gaya hidup, sistem nilai, dan sistem kepercayaan. Keragaman budaya dalam konteks studi ini lebih banyak diartikan sebagai produk atau hasil kebudayaan yang ada pada kini. Dalam konteks masyarakat yang multikultur, keberadaan keragaman kebudayaan adalah suatu yang harus dijaga dan dihormati keberadaannya. Keragaman budaya adalah memotong perbedaan budaya dari kelompok-kelompok masyarakat yang hidup di Indonesia. Jika kita merujuk kepada konvensi UNESCO 2005 (Convention on The Protection and Promotion of The Diversity of Cultural Expressions) tentang keragaman budaya atau “cultural diversity”, cultural diversity diartikan sebagai kekayaan budaya yang dilihat sebagai cara yang ada dalam kebudayaan kelompok atau masyarakat untuk mengungkapkan ekspresinya. Hal ini tidak hanya berkaitan dalam keragaman budaya yang menjadi kebudayaan latar belakangnya, namun juga variasi cara dalam penciptaan artistik, produksi, disseminasi, distribusi dan penghayatannya, apapun makna dan teknologi yang digunakannya. Atau diistilahkan oleh Unesco dalam dokumen konvensi UNESCO 2005 sebagai “Ekpresi budaya” (cultural expression). Isi dari keragaman budaya tersebut akan mengacu kepada makna simbolik, dimensi artistik, dan nilai-nilai budaya yang melatarbelakanginya.

Dalam konteks ini pengetahuan budaya akan berisi tentang simbol-simbol pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat pemiliknya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungannya. Pengetahuan budaya biasanya akan berwujud nilai-nilai budaya suku bangsa dan nilai budaya bangsa Indonesia, dimana didalamnya berisi kearifan-kearifan lokal kebudayaan lokal dan suku bangsa setempat. Kearifan lokal tersebut berupa nilai-nilai budaya lokal yang tercerminkan dalam tradisi upacara-upacara tradisional dan karya seni kelompok suku bangsa dan masyarakat adat yang ada di nusantara. Sedangkan tingkah laku budaya berkaitan dengan tingkah laku atau tindakan-tindakan yang bersumber dari nilai-nilai budaya yang ada. Bentuk tingkah laku budaya tersebut bisa dirupakan dalam bentuk tingkah laku sehari-hari, pola interaksi, kegiatan subsisten masyarakat, dan sebagainya. Atau bisa kita sebut sebagai aktivitas budaya. Dalam artefak budaya, kearifan lokal bangsa Indonesia diwujudkan dalam karya-karya seni rupa atau benda budaya (cagar budaya). Jika kita melihat penjelasan diatas maka sebenarnya kekayaan Indonesia mempunyai bentuk yang beragam. Tidak hanya beragam dari bentuknya namun juga menyangkut asalnya. Keragaman budaya adalah sesungguhnya kekayaan budaya bangsa Indonesia.

Oleh : Adi Prasetijo

Sabtu, 01 Mei 2010

Momentum Baru Perdamaian Dunia


Periode 1989-1991 melahirkan banyak perubahan besar, yang akan mempengaruhi bentuk dunia di masa mendatang. Bahkan cukup banyak sejarawan dan ahli ilmu politik yang menyamakan kurun 1989- 1991 ini dengan momentum-momentum lain yang mengubah dunia, seperti 1789 (Revolusi Perancis), 1917 (Revolusi Bolsyewik), dan 1945 (Rontoknya Nazisme dan Fasisme).

Salah satu hasil yang segera dirasakan adalah momentum perdamaian dunia seperti berakhirnya Perang Dingin, inisiatif pengurangan persenjataan nuklir AS, surutnya politik Apartheid di Afrika Selatan, mencairnya konflik Kamboja, hingga Konferensi Madrid tentang Timur Tengah baru-baru ini. Rangkaian peristiwa ini membangkitkan harapan banyak orang akan dunia yang lebih baik.

Akar kesejarahan Revolusi Perancis adalah bangkitnya kesadaran baru (renaissance) dan munculnya kelas menengah (borjuasi) di Eropa sejak abad ke-16. Demikian pula, akar kesejarahan Revolusi 1917 adalah membusuknya dinasti Tsar dan akibat-akibat buruk industrialisasi-tahap-awal. Maka pertanyaan yang penting saat ini: di manakah akar kesejarahan momentum perdamaian 1989-1991?

Untuk menjawab pertanyaan ini, berbagai pendekatan bisa digunakan. Tapi pendekatan yang tampaknya paling memuaskan adalah pendekatan yang berangkat dari sifat hubungan bangsa-bangsa. "Perdamaian dunia" adalah konsep besar. Ia adalah hasil interaksi bangsa-bangsa yang terpola, yang berlangsung dalam jangka waktu yang tidak singkat.

Mendekati persoalan ini hanya dari sudut runtuhnya komunisme, atau perubahan pola kebijakan luar negeri AS, atau munculnya Jepang dan Jerman sebagai kekuatan baru, sebagaimana yang selama ini sudah terlalu sering dilakukan, akan sangat menyederhanakan persoalan. Pendekatan semacam ini membuat kita melihat perkembangan dunia secara terpenggal-penggal, tidak utuh.

Dengan kata lain, akar kesejarahan momentum perdamaian baru ini harus dicari pada pergeseran "paradigma", atau sifat hubungan bangsa-bangsa. Begitu pula, dengan memahami pergeseran ini, kita bisa mengerti bentuk dan problematik utama The New World Order yang sudah terlalu sering didengungkan oleh Presiden AS George Bush.

Dari politik ke ekonomi

Ada dua jalan bagi bangsa-bangsa untuk mempertahankan atau meningkatkan martabatnya dalam pergaulan internasional. Pertama, jalan perdagangan. Kedua, jalan politik-militer. Jalan pertama ditempuh secara damai untuk menggalakkan "pembangunan ekonomi". Jalan kedua dilakukan untuk menduduki atau mempertahankan lingkup teritorial tertentu sebagai sumber bahan mentah atau daerah pemasaran.

Sejak lahirnya negara moderen di abad ke-16, kedua jalan itu silih berganti menjadi "paradigma" dalam hubungan bangsa-bangsa. Tapi hingga dua atau tiga dekade setelah Perang Dunia ke-2, yang sangat dominan adalah jalan politik-militer.

Ambisi-ambisi para pemimpin yang muncul di Eropa untuk meningkatkan martabat negerinya melalui jalan seperti ini, misalnya Philip II di Spanyol, Louis XIV dan Napoleon di Prancis, Peter Agung dan Stalin di Rusia, Bismarck di Prussia, Hitler di Jerman serta Mussolini di Italia, pada akhirnya melahirkan perang antarbangsa. Dalam abad-abad pertama kelahiran negara moderen, yang terjadi adalah rangkaian perang yang berulang secara teratur, sehingga lahirlah adagium "perdamaian adalah persiapan bagi peperangan yang lebih dahsyat".

Salah satu anak kandung dari jalan politik-militer adalah penjajahan bangsa-bangsa di Amerika Selatan, Afrika dan Asia. Untuk memonopoli sumber bahan mentah (kapas) dan daerah pasar bagi tekstilnya, Inggris menguasai India. Untuk merebut sumber rempah- rempah, Belanda mempertahankan penguasaan Hindia Belanda. Demikian pula Italia dan Prancis di Afrika, Jepang di Tiongkok, serta Spanyol dan Portugis di Amerika Selatan. Di sinilah bentuk kekerasan lain yang bukan perang, yaitu kekerasan struktural (penghisapan ekonomi), mengambil bentuknya yang paling menyedihkan.

Puncak dari "paradigma" hubungan antarbangsa demikian adalah dua perang besar (Perang Dunia ke-1 dan ke-2). Apa yang dialami dan dilakukan oleh Jepang menjelang Perang Dunia ke-2 adalah contoh yang baik dari bagaimana jalan politik-militer untuk menguasai sumber- sumber ekonomi akhirnya melahirkan perang besar. Buat Jepang sejak 1930-an, AS adalah pemasok logam dan minyak yang terbesar. Tapi akibat invasi Jepang ke Cina, pada 1940-41 Presiden Franklin D. Roosevelt melakukan embargo perdagangan.

Untuk mengganti pasokan minyak ini, Jepang melirik ke Asia Tenggara, terutama ke Hindia Belanda. Tapi di kawasan ini telah ada Inggris dan Belanda, yang menolak permintaan Jepang. Untuk merebut daerah minyak inilah, Jepang terlebih dahulu harus memotong jalur bantuan kekuatan AS : ia menyerbu Pearl Harbor dan memulai prahara di Pasifik.

Setelah 1945, jalan politik-militer tetap digunakan oleh dua negara adikuasa (superpower) yang muncul sesudah perang. Namun kali ini, penguasaan teritorial dan penanaman pengaruh tidak lagi semata- mata atas maksud ekonomi dan sabuk pengamanan, tetapi telah ditambah dan dibingkai oleh unsur-unsur ideologi (kapitalisme dan komunisme). Hasilnya adalah Perang Dingin.

Perang semacam ini menghasilkan bentuk kekerasan struktural yang lain lagi: perlombaan senjata antara dua blok ideologi dan kecemasan akibat potensi destruktif dari perang nuklir (menurut majalah Time, hingga Juni 1991 jumlah seluruh peluru kendali berkepala nuklir dalam berbagai jenis di kedua blok adalah 16.690; cukup untuk menghancurkan bumi beberapa puluh kali).

Di Dunia Ketiga -- istilah yang muncul setelah 1945 untuk menggambarkan negeri-negeri terbelakang pasca-koloni -- Perang Dingin ini ternyata meminta cucuran darah yang tidak sedikit. Inilah yang disebut proxy war. Di sini yang bertarung umumnya bukan kedua negara adikuasa itu sendiri, tetapi perbenturan kepentingan dan perebutan pengaruh di antara mereka menyebabkan, atau setidaknya mendorong, dua atau tiga negara Dunia Ketiga terlibat dalam peperangan yang dahsyat. Contoh yang baik untuk ini di antaranya adalah Perang Korea, Perang Vietnam, Invasi Vietnam di Kamboja, dan Perang Arab-Israel.

Sementara itu, sejak pertengahan tahun 1960-an "paradigma" lain, yaitu jalan perdagangan atau "pembangunan ekonomi", mulai mencuat dalam tindakan dan sifat hubungan antarbangsa. Ironisnya, yang menjadi ujung tombak dari "paradigma" baru ini adalah Jerman (Barat) dan Jepang, dua negara yang hanya beberapa tahun sebelumnya menjadi penganut ekstrim jalan politik-militer (Nazisme dan Fasisme) dan sama-sama mengalami kehancuran dalam Perang Dunia II.

Jika melalui "paradigma" lama keduanya hanya menemui kehancuran dan kegagalan, maka melalui jalan perdagangan keduanya mengibarkan bukti bahwa tanpa melalui kekuatan militer dan penaklukan wilayah pun, tapi dengan strategi ekspor dan industrialisasi yang tepat, negeri yang "hancur" dan "tertinggal" dapat mengubah nasibnya, berjaya, tegak di antara bangsa-bangsa. Pada pertengahan 1980-an, Jerman (Barat) dan Jepang telah menjadi kekuatan ekonomi yang melampaui Uni Soviet dan mendekati AS, dua negara yang hingga pertengahan 1980-an itu tetap sulit meninggalkan jalan politik- militer.

Sukses Jepang dan Jerman kemudian disusul oleh Hongkong, Taiwan, Korsel, Singapura. Sederetan negara lain kemudian menyusul di belakang mereka, seperti Mexico dan Brazil, Thailand dan Malaysia. Semua negeri inilah yang oleh Richard Rosencrance, dalam bukunya yang baru-baru ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Kebangkitan Negara Dagang -- perdagangan dan penaklukan di dunia moderen, Gramedia, 1991), disebut sebagai trading states. Negeri- negeri ini meningkatkan martabatnya dan mensejahterakan penduduknya melalui peluang-peluang yang diberikan oleh sistem perdagangan dunia.

Maka itulah, Richard Rosencrance, dalam bukunya mengatakan bahwa pergeseran "paradigma" dalam sifat hubungan bangsa-bangsa diakibatkan pertama-tama oleh perkembangan yang terjadi dalam sistem perdagangan internasional: sistem ini bisa memberi kesejahteraan dan kejayaan, sekaligus menjamin bahwa kebutuhan akan bahan-bahan produksi untuk itu dapat terpenuhi. Sebaliknya, jika menolak sistem perdagangan ini, sebuah negeri hanya akan memencilkan diri dari pertukaran internasional dan akhirnya terjebak dalam economic down- turn yang memiskinkan (seperti Myanmar).

Sisi lain di balik aspek perdagangan yang disebut oleh Rosen crance di atas adalah semakin mahalnya biaya perlombaan senjata dan pertahanan. Maka dalam dunia seperti sekarang ini, semakin aktif sebuah negeri terlibat dalam jalan politik-militer, semakin ia kehilangan peluang untuk lebih maju dalam sistem perdagangan dunia - - semakin banyak investasi yang kontra-produktif. Karena itu pula, cukup banyak ilmuwan politik yang berkata bahwa sebab-sebab keruntuhan Uni Soviet adalah anggaran pertahanannya yang irrasional (25 persen dari GDP).

Demikian pula dengan kesulitan ekonomi yang dialami Amerika Serikat akhir-akhir ini. Menurut Prof. Paul Kennedy, dalam bukunya yang sangat populer (The Rise and Fall of the Great Powers -- economic change and military conflict from 1500 to 2000, Vintage Books, 1989), AS tidak mungkin lagi mempertahankan tingkat kemakmurannya jika biaya pertahanan masih setinggi sekarang ini. Amerika sedang mengalami imperial overstretch: demi perlengkapan militer, terlalu banyak peluang-peluang ekonomi terlewatkan, terlalu banyak sumber-sumber ekonomi yang menjadi tidak ekonomis. Hasilnya adalah defisit neraca perdagangan dan tingginya tingkat pengangguran. Peran AS dalam perdagangan dunia pun (ekspor) terus menurun, dari 18,2 persen tahun 1960 menjadi 12 persen tahun 1985.

Perdamaian

Tata dunia baru yang kini sedang mulai terbentuk akibat pergeseran itu tidak berarti datangnya "surga di bumi", sebuah dunia yang dengan sendirinya membenihkan perdamaian dan kesejahteraan bagi siapa saja. Sementara sistem perdagangan internasional mengangkat sejumlah negara ke arah kesejahteraan yang lebih baik, sejumlah negeri lain tetap tertinggal dalam kemiskinan, tanpa sedikit pun harapan perbaikan. Inilah ironi sistem perdagangan moderen.

Afrika misalnya. Dengan jumlah penduduk 650 juta (13 persen dari seluruh penduduk dunia), benua hitam ini hanya menikmati 3 persen dari total perdagangan dunia. Ketika dekade 1980-an buat banyak negeri lain seperti Singapura, Taiwan, Malaysia adalah dekade pertumbuhan ekonomi yang tinggi, buat Afrika dekade 1980-an itu adalah dekade yang hilang (the lost decade).

Bahkan menurut Barber B. Conable, mantan Presiden Bank Dunia, kemiskinan di Afrika sekarang tidak berbeda dengan kemiskinannya 30 tahun yang silam (RJ. Barnet, But What About Africa?, Harper's Magazine, May 1990). Maka salah satu persoalan besar yang harus dijawab adalah, mampukah sistem perdagangan dunia mengangkat nasib negeri-negeri seperti yang ada di Afrika ini, yang hampir tidak memiliki apapun selain tenaga kerja yang berkualitas rendah?

Maka yang perlu diciptakan dari momentum perdamaian sekarang ini bukan hanya negative peace (keadaan tanpa perang), tapi terlebih lagi adalah positive peace (keadaan tanpa keterbelakangan dan kesenjangan yang berlebihan). Tanpa positive peace ini, "paradigma" baru yang mulai dominan sejak 1960-an itu hanya akan mengingkari janjinya sendiri.

* Rizal Mallarangeng, staf pengajar Fisip UGM Yogyakarta. --Kini Direktur Freedom Institute, Jakarta.