Follow me :

Sabtu, 29 Mei 2010

Aspirasi Mahasiswa

SMPT Belum Mewadahi Aspirasi Mahasiswa
Jakarta, Kompas
Senat mahasiswa perguruan tinggi (SMPT) sampai saat ini diakui belum bisa
menjadi wadah aspirasi mahasiswa. Banyak kegiatan kemahasiswaan di kampur
terhambat oleh birokrasi perizinan dari pimpinan perguruan tinggi yang
ditetapkan sebagai aturan main bagi SMPT. Di sisi lain, SMPT juga ternyata
belum diadopsi oleh semua perguruan tinggi di Indonesia.
Hal itu disampaikan beberapa tokoh mahasiswa dan pimpinan perguruan tinggi
di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, akhir pekan lalu. Mereka diminta
menanggapi sekitar aktivitas SMPT dan menghangatnya usulan untuk kembali
ke dewan mahasiswa (Dema).
Di sisi lain, usulan kembali kepada Dema mendapat tanggapan hati-hati
dari beberapa tokoh organisasi mahasiswa Ketua Senat Mahasiswa Universitas
Indonesia (SM-FEUI) Holil Baidowi, misalnya, menganggap usulan seperti itu
kurang realitis lagi untuk masa sekarang. Alasannya, karena banyak
perubahan telah terjadi dalam diri mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan.
"Sebenarnya untuk membuat mahasiswa mau mengerti SMPT saja tidak mudah.
Banyak di antara mereka (mahasiswa), termasuk di Universitas Diponegoro,
sekadar ingin kuliah, belajar dan mengejar SKS (satuan kredit semester).
Mereka tidak mau tahu dengan kegiatan kampus, apalagi masyarakat," ungkap
Heri Santoso, Ketua SM Fakultas Non-gelar Teknik Universitas Diponegoro
(Undip) Semarang.
Konsep SMPT, pada kenyataannya memang belum diadopsi semua perguruan tinggi
di Indonesia. Di Institut Teknologi Bandung (ITB), misalnya, sebagaimana
diakui Pembantu Rektor III ITB, Dr Indra Djati Sidi, sampai saat ini memang
belum ada SMPT. Semua kegiatan dan aktivitas mahasiswa dilaksanakan di
masing-masing himpunan dan jurusan yang seluruhnya berjumlah 23 himpunan.
"Kendati di ITB belum ada lembaga formal SMPT, tetapi secara substansial
semua kegiatan di Kampus Ganesha ini sudah mencerminkan apa yang tertuang
dalam SMPT," kata Indra, pembantu rektor yang membidangi kemahasiswaan itu.
Di Universitas Islam Yogyakarta (UII) seperti dituturkan Pembantu Rektor I
UII, Dr Mahfud MD, bentuk lembaga kemahasiswaan yang diambil disebut Dewan
Perwakilan Mahasiswa (DPM) yang mempunyai struktur seperti Dema tahun 1970-an.
"Namanya lain, tetapi isinya sama," tuturnya.
Mahfud mengungkapkan, pengambilan bentuk DPM itu sempat menimbulkan pertanyaan
dari kalangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mengingat strukturnya
tidak sama dengan senat mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Hal itu
pernah disampaikan langsung ke mahasiswa, akan tetapi para mahasiswa tetap
bersikukuh menggunakan nama DPM. "Oleh karena itu merupakan pilihan mereka,
ya akhirnya tetap dibiarkan menggunakan nama DPM, dan kenyataannya memang
tidak apa-apa," tambahnya.
Tergantung rektorat
Ketergantungan SMPT yang begitu besar terhadap pihak rektorat, terutama dalam
hal dana bagi kegiatan-kegiatan mahasiswa, menurut banyak pengurus di senat-
senat mahasiswa tingkat fakultas maupun SMPT, menyebabkan SMPT tidak bisa
menyalurkan banyak aspirasi mahasiswanya. Sikap sebagian mahasiswa yang tidak
mendukung pengembangan lembaga mahasiswa tersebut, juga menjadi salah satu
faktor penyebab dilakukan penyaluran aspirasi mahasiswa melalui wadah-wadah
lain di luar kampus.
Sebagai contoh, menurut Pembantu Rektor III Universitas Gadjah Mada (UGM)
Ir Bambang Kartika SU, semua unit kegiatan mahasiswa yang tergabung dalam
beberapa sekretariat bersama, masing-masing "ditunggui" dosen pembina.
Bersama dosen pembina inilah unit-unit kegiatan melakukan konsultasi dan
perencanaan kegiatan, sehingga ketika suatu perencanaan dimintakan pengesahan
ke pejabat yang lebih atas, jarang yang kemudian ditolak.
"Usulan perencanaan kegiatan yang berlingkup fakultas diketahui oleh Pembantu
Dekan (PD) III, sedang yang berlingkup universitas diketahui oleh Pembantu
Rektor (PR) III, dan yang berlingkup nasional perlu diketahui oleh rektor,"
kata Bambang. Oleh karena melalui dosen pembina itulah, dia menambahkan,
jarang usulan perencanaan kegiatan mahasiswa ditolak.
Aturan main pengesahan izin PD III dan PR III atau rektor memang menjadi
aturan main SMPT di seluruh universitas. Di beberapa fakultas, birokrasi
untuk memperoleh izin itu memang mudah, seperti yang diungkapkan Ketua
SM-FEUI. Akan tetapi di beberapa fakultas, sebagaimana diungkapkan Sekretaris
Umum Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia (SM-FISIP) Meily Badriati, birokrasi untuk memperoleh izin itu
cukup menyulitkan dan memakan waktu lama.
Meily menguraikan, seringkali proposal kegiatan yang diajukan diminta untuk
diperbaiki karena berbagai alasan. Meskipun proposal sudah baik, hasilnya belum
tentu disetujui, terutama bila berkaitan dengan orang-orang di luar kampus.
"Malahan ketika kami akan mengundang Iwan Fals dan Rendra untuk sebuah kegiatan
musik di kampus, kami tidak mendapatkan izin. Ada semacam cekal dari pihak
rektorat," ungkat Sekum SM-FISIP UI itu dibenarkan juga oleh Arief, mantan
pengurus SM-FISIP UI (1993-94).
Meily dan Arief menambahkan, adanya hambatan birokrasi untuk mengadakan
kegiatan di kampur itu akhirnya mendorong mahasiswa untuk melakukan aktivitas
di luar kampus, dengan bergabung kepada LSM atau organisasi kemahasiswaan
lainnya. "Salah satu contohnya adalah ketika kami dilarang untuk
menyelenggarakan Pentas Seni dan Dialog Solidaritas Bosnia di kampus.
Akhirnya kami mengadakan kegiatan itu di luar kampus dengan tidak memakai
nama FISIP UI," ujar Meily.
LSM
Di kalangan sebagian aktivitas mahasiswa sendiri, organisasi di luar
kampus saat ini dianggap lebih bisa menampung aspirasi mereka dibandingkan
SMPT. Sawaludin Lubis aktivis mahasiswa ITB dari jurusan Geofisika,
misalnya, menganggap LSM (lembaga swadaya masyarakat) sebagai lembaga yang
representatif untuk menampung semua aktivitas dan aspirasi mahasiswa ITB.
Konsep LSM itulah yang sudah diusulkan mahasiswa kepada rektor ITB, setelah
melalui referendum para mahasiswa pada tahun lalu.
Akan tetapi beberapa aktivis mahasiswa lain berpendapat, kurang otonomnya
SMPT sebetulnya bukan menjadi faktor penyebab utama sehingga timbul ketidak
puasan terhadap SMPT. Menurut Ketua Umum SM-UGM, Taufik Rinaldi, serangan
terhadap SM sebagai organisasi kemahasiswaan yang dianggap tidak otonom dan
tidak independen tidak bisa diterima.
"Kalau daya tawar mahasiswa masih kurang, saya sependapat. Mari kita buat
kekuatan mahasiswa mempunyai daya tawar yang kuat. Sedangkan kalau struktur
yang dinilai lemah oleh mereka yang menginginkan pembentukan Dema, menurut
saya tidak ada masalah apa-apa dengan struktur SMPT selama ini," katanya.
Pendapat yang sama juga disampaikan Holil Baidowi dari SM-FEUI.
Taufik menambahkan, masalah yang dihadapi organisasi kemahasiswaan Indonesia
sekarang ini bukan pada struktur, tetapi kultur berorganisasi mahasiswanya.
Hal senada juga diungkapkan Puguh Trisadono, aktivis mahasiswa Undip. Adanya
sikap yang pasif tersebut sebenarnya bukan saja dari sikap pemerintah melalui
NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan), tetapi
justru tumbuh dari mahasiswa sendiri karena kondisi lingkungan yang memaksanya.
"Sebenarnya berbagai kebijakan yang menghambat aktivitas mahasiswa itu kan
dapat saja disiasati. Buktinya tidak sedikit mahasiswa yang dapat aktif
dan kritis sekarang ini," tandasnya.
(Kompas, Senin, 30 Januari 1995)

0 komentar:

Posting Komentar