SMPT Belum Mewadahi Aspirasi Mahasiswa 
Jakarta, Kompas 
Senat mahasiswa perguruan tinggi (SMPT) sampai saat ini diakui belum bisa 
menjadi wadah aspirasi mahasiswa. Banyak kegiatan kemahasiswaan di kampur 
terhambat oleh birokrasi perizinan dari pimpinan perguruan tinggi yang 
ditetapkan sebagai aturan main bagi SMPT. Di sisi lain, SMPT juga ternyata 
belum diadopsi oleh semua perguruan tinggi di Indonesia. 
Hal itu disampaikan beberapa tokoh mahasiswa dan pimpinan perguruan tinggi 
di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, akhir pekan lalu. Mereka diminta 
menanggapi sekitar aktivitas SMPT dan menghangatnya usulan untuk kembali 
ke dewan mahasiswa (Dema). 
Di sisi lain, usulan kembali kepada Dema mendapat tanggapan hati-hati 
dari beberapa tokoh organisasi mahasiswa Ketua Senat Mahasiswa Universitas 
Indonesia (SM-FEUI) Holil Baidowi, misalnya, menganggap usulan seperti itu 
kurang realitis lagi untuk masa sekarang. Alasannya, karena banyak 
perubahan telah terjadi dalam diri mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan. 
"Sebenarnya untuk membuat mahasiswa mau mengerti SMPT saja tidak mudah. 
Banyak di antara mereka (mahasiswa), termasuk di Universitas Diponegoro, 
sekadar ingin kuliah, belajar dan mengejar SKS (satuan kredit semester). 
Mereka tidak mau tahu dengan kegiatan kampus, apalagi masyarakat," ungkap 
Heri Santoso, Ketua SM Fakultas Non-gelar Teknik Universitas Diponegoro 
(Undip) Semarang. 
Konsep SMPT, pada kenyataannya memang belum diadopsi semua perguruan tinggi 
di Indonesia. Di Institut Teknologi Bandung (ITB), misalnya, sebagaimana 
diakui Pembantu Rektor III ITB, Dr Indra Djati Sidi, sampai saat ini memang 
belum ada SMPT. Semua kegiatan dan aktivitas mahasiswa dilaksanakan di 
masing-masing himpunan dan jurusan yang seluruhnya berjumlah 23 himpunan. 
"Kendati di ITB belum ada lembaga formal SMPT, tetapi secara substansial 
semua kegiatan di Kampus Ganesha ini sudah mencerminkan apa yang tertuang 
dalam SMPT," kata Indra, pembantu rektor yang membidangi kemahasiswaan itu. 
Di Universitas Islam Yogyakarta (UII) seperti dituturkan Pembantu Rektor I 
UII, Dr Mahfud MD, bentuk lembaga kemahasiswaan yang diambil disebut Dewan 
Perwakilan Mahasiswa (DPM) yang mempunyai struktur seperti Dema tahun 1970-an. 
"Namanya lain, tetapi isinya sama," tuturnya. 
Mahfud mengungkapkan, pengambilan bentuk DPM itu sempat menimbulkan pertanyaan 
dari kalangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mengingat strukturnya 
tidak sama dengan senat mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Hal itu 
pernah disampaikan langsung ke mahasiswa, akan tetapi para mahasiswa tetap 
bersikukuh menggunakan nama DPM. "Oleh karena itu merupakan pilihan mereka, 
ya akhirnya tetap dibiarkan menggunakan nama DPM, dan kenyataannya memang 
tidak apa-apa," tambahnya. 
Tergantung rektorat 
Ketergantungan SMPT yang begitu besar terhadap pihak rektorat, terutama dalam 
hal dana bagi kegiatan-kegiatan mahasiswa, menurut banyak pengurus di senat- 
senat mahasiswa tingkat fakultas maupun SMPT, menyebabkan SMPT tidak bisa 
menyalurkan banyak aspirasi mahasiswanya. Sikap sebagian mahasiswa yang tidak 
mendukung pengembangan lembaga mahasiswa tersebut, juga menjadi salah satu 
faktor penyebab dilakukan penyaluran aspirasi mahasiswa melalui wadah-wadah 
lain di luar kampus. 
Sebagai contoh, menurut Pembantu Rektor III Universitas Gadjah Mada (UGM) 
Ir Bambang Kartika SU, semua unit kegiatan mahasiswa yang tergabung dalam 
beberapa sekretariat bersama, masing-masing "ditunggui" dosen pembina. 
Bersama dosen pembina inilah unit-unit kegiatan melakukan konsultasi dan 
perencanaan kegiatan, sehingga ketika suatu perencanaan dimintakan pengesahan 
ke pejabat yang lebih atas, jarang yang kemudian ditolak. 
"Usulan perencanaan kegiatan yang berlingkup fakultas diketahui oleh Pembantu 
Dekan (PD) III, sedang yang berlingkup universitas diketahui oleh Pembantu 
Rektor (PR) III, dan yang berlingkup nasional perlu diketahui oleh rektor," 
kata Bambang. Oleh karena melalui dosen pembina itulah, dia menambahkan, 
jarang usulan perencanaan kegiatan mahasiswa ditolak. 
Aturan main pengesahan izin PD III dan PR III atau rektor memang menjadi 
aturan main SMPT di seluruh universitas. Di beberapa fakultas, birokrasi 
untuk memperoleh izin itu memang mudah, seperti yang diungkapkan Ketua 
SM-FEUI. Akan tetapi di beberapa fakultas, sebagaimana diungkapkan Sekretaris 
Umum Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas 
Indonesia (SM-FISIP) Meily Badriati, birokrasi untuk memperoleh izin itu 
cukup menyulitkan dan memakan waktu lama. 
Meily menguraikan, seringkali proposal kegiatan yang diajukan diminta untuk 
diperbaiki karena berbagai alasan. Meskipun proposal sudah baik, hasilnya belum 
tentu disetujui, terutama bila berkaitan dengan orang-orang di luar kampus. 
"Malahan ketika kami akan mengundang Iwan Fals dan Rendra untuk sebuah kegiatan 
musik di kampus, kami tidak mendapatkan izin. Ada semacam cekal dari pihak 
rektorat," ungkat Sekum SM-FISIP UI itu dibenarkan juga oleh Arief, mantan 
pengurus SM-FISIP UI (1993-94). 
Meily dan Arief menambahkan, adanya hambatan birokrasi untuk mengadakan 
kegiatan di kampur itu akhirnya mendorong mahasiswa untuk melakukan aktivitas 
di luar kampus, dengan bergabung kepada LSM atau organisasi kemahasiswaan 
lainnya. "Salah satu contohnya adalah ketika kami dilarang untuk 
menyelenggarakan Pentas Seni dan Dialog Solidaritas Bosnia di kampus. 
Akhirnya kami mengadakan kegiatan itu di luar kampus dengan tidak memakai 
nama FISIP UI," ujar Meily. 
LSM 
Di kalangan sebagian aktivitas mahasiswa sendiri, organisasi di luar 
kampus saat ini dianggap lebih bisa menampung aspirasi mereka dibandingkan 
SMPT. Sawaludin Lubis aktivis mahasiswa ITB dari jurusan Geofisika, 
misalnya, menganggap LSM (lembaga swadaya masyarakat) sebagai lembaga yang 
representatif untuk menampung semua aktivitas dan aspirasi mahasiswa ITB. 
Konsep LSM itulah yang sudah diusulkan mahasiswa kepada rektor ITB, setelah 
melalui referendum para mahasiswa pada tahun lalu. 
Akan tetapi beberapa aktivis mahasiswa lain berpendapat, kurang otonomnya 
SMPT sebetulnya bukan menjadi faktor penyebab utama sehingga timbul ketidak 
puasan terhadap SMPT. Menurut Ketua Umum SM-UGM, Taufik Rinaldi, serangan 
terhadap SM sebagai organisasi kemahasiswaan yang dianggap tidak otonom dan 
tidak independen tidak bisa diterima. 
"Kalau daya tawar mahasiswa masih kurang, saya sependapat. Mari kita buat 
kekuatan mahasiswa mempunyai daya tawar yang kuat. Sedangkan kalau struktur 
yang dinilai lemah oleh mereka yang menginginkan pembentukan Dema, menurut 
saya tidak ada masalah apa-apa dengan struktur SMPT selama ini," katanya. 
Pendapat yang sama juga disampaikan Holil Baidowi dari SM-FEUI. 
Taufik menambahkan, masalah yang dihadapi organisasi kemahasiswaan Indonesia 
sekarang ini bukan pada struktur, tetapi kultur berorganisasi mahasiswanya. 
Hal senada juga diungkapkan Puguh Trisadono, aktivis mahasiswa Undip. Adanya 
sikap yang pasif tersebut sebenarnya bukan saja dari sikap pemerintah melalui 
NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan), tetapi 
justru tumbuh dari mahasiswa sendiri karena kondisi lingkungan yang memaksanya. 
"Sebenarnya berbagai kebijakan yang menghambat aktivitas mahasiswa itu kan 
dapat saja disiasati. Buktinya tidak sedikit mahasiswa yang dapat aktif 
dan kritis sekarang ini," tandasnya. 
(Kompas, Senin, 30 Januari 1995)
skip to main  |
      skip to sidebar


 
 

 
0 komentar:
Posting Komentar