Follow me :

Rabu, 24 Februari 2010

Pendidikan Bela Negara


Sistem ketahanan negara, khususnya bagi bangsa Indonesia, adalah sesuatu yang sangat penting. Bukan saja karena ada kebutuhan dan tuntutan empirik-objektif kondisi wilayah Indonesia dan pluralisme sosial bangsa Indonesia, tetapi demi kepentingan masa depan bangsa Indonesia sendiri. Tanpa memerhatikan masalah seperti ini, maka setiap orang akan mengalami kesulitan mendapatkan keamanan dan kenyamanan dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Salah satu solusi jangka panjang menciptakan sistem ketahanan negara yang tangguh adalah melalui pendidikan bela negara. Pendidikan dimaksud sesuai amanat Pasal 30 UUD 1945 bahwa setiap warga negara memiliki kewajiban untuk bela negara. Pendidikan bela negara menjadi sesuatu yang wajib, sejalan dengan kenyataan empirik yang berkembang saat ini dan menjadi satu kebutuhan Indonesia, untuk melakukan reorientasi sistem ketahanan nasional. Melalui pendidikan bela negara, diharapkan terbangun kesadaran kolektif bangsa Indonesia yang kuat dan kokoh. Kesadaran kolektif ini akan menjadi fundamen ketahanan negara, di masa kini dan masa yang akan datang. Di samping itu, melalui pendidikan bela negara, diharapkan akan tersosialisasikan nilai-nilai nasionalisme, patriotisme, atau kebangsaan secara rasional, objektif, dan kontekstual.

Letak Indonesia

Hal paling menonjol dan perlu diperhatikan secara seksama, adalah Indonesia berada pada persilangan dua kekuatan besar dunia. Secara geografis, Indonesia berada di persilangan dua benua Asia dan Australia. Dua samudra Hindia dan Pasifik. Kedua letak geografis ini, sudah dikenal lama dan mungkin juga sudah familiar di telinga bangsa Indonesia.

Sementara itu, banyak yang khilaf mengenai letak bangsa Indonesia dari sisi yang lain. Kekhilafan ini menyebabkan kita kurang memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi, terhadap masa depan ketahanan negara Indonesia. Dalam konteks ini, ada dua letak Indonesia yang perlu mendapat perhatian seksama.

Pertama, letak ideologi. Setuju atau tidak, diakui atau tidak, Indonesia sebenarnya ada di antara persilangan ideologi dunia yang berbeda. Di sebelah Timur ada Australia yang berhaluan liberalisme-kapitalisme. Bahkan, kita dapat menyebutkannya sebagai negara Barat yang ada di Timur. Australia adalah negara benua yang memiliki haluan kapitalisme-liberalisme, sebagaimana yang berkembang di dunia Barat. Sementara, di sebelah Barat Indonesia berbatasan pula dengan negara Asia yang memiliki ideologi sosialis-komunis, khususnya negara Cina.

Kedua, letak ekonomi. Dari sisi mana pun, Indonesia merupakan negara yang berada di daerah persilangan ekonomi yang sangat besar. Indonesia ada di persilangan negara kapitalis-sosialisme. Ekonomi-ekonomi negara Australia dan Singapura adalah negara-negara pengusung kapitalis. Sedangkan negara Cina, masih mengedepankan sistem ekonomi sosialis.

Francis Fukuyama 1998-an, sudah memproklamasikan kemenangan kapitalisme-liberalisme dalam pentas peradaban dunia. Ideologi kapitalisme-liberalisme saat ini, telah menjadi satu ideologi dunia yang kuat dan kokoh, setelah ideologi sosialisme runtuh, khususnya ditandai runtuhnya kampiun sosialisme Eropa yaitu Uni Soviet.

Kendati demikian, keruntuhan Uni Soviet tidak serta merta diikuti melemahnya ideologi sosialisme. Hal ini, ditunjukkan munculnya Cina. Negara sosialis ini muncul dan menggeliat, menjadi salah satu kekuatan ekonomi baru dunia. Produk-produk Cina bermunculan menjadi kompetitor produk ekonomi Asia atau pabrikan Barat lainnya. Barang elektronik dan otomotif dari Cina, sudah merambah ke berbagai penjuru dunia. Ini adalah contoh bahwa Cina mulai menunjukkan kekuatan ekonominya di dunia.

Peta persilangan ini menjadi sangat penting, khususnya bila dikaitkan dengan tarikan ideologi dunia terhadap kultur masyarakat Indonesia. Secara sederhana, dengan adanya tarikan kedua ideologi itu, akankah negara Indonesia terjebak dan hanyut dalam sistem ekonomi dunia atau sistem ideologi dunia? Apakah Indonesia akan memiliki karakteristik keunikan sistem kehidupan ekonomi dan kehidupan berbangsa yang berbeda, dengan sistem ekonomi dunia atau sistem ideologi yang lainnya? Inilah pertanyaaan menarik untuk diperhatikan oleh setiap lapisan masyarakat Indonesia saat ini.

Pengalaman masa lalu

Krisis multidimensi berkepanjangan yang menimpa bangsa Indonesia, perlu ditafsirkan dalam konteks ini. Artinya, krisis nasional Indonesia merupakan satu pertanda permainan ideologi dunia yang sedang melanda bangsa Indonesia. Korea Selatan, dengan ideologi kapitalisme Barat nya, mampu menunjukkan kecepatannya dalam memulihkan krisis ekonomi nasionalnya. Padahal, krisis moneter akhir abad XX waktu itu, sebelum menimpa Indonesia, menghantam nilai Won Korea terlebih dahulu. Tapi, temyata mereka dapat pulih kembali dengan cepat.

Hal yang menarik, justru Cina hampir tidak terkena badai krisis moneter tersebut. Terhadap kondisi ini, patut diajukan pertanyaan, mengapa dapat terjadi seperti itu? Salah satu alternatif jawabannya adalah fundamental ekonomi Cina yang kokoh, sehingga sistem ketahanan negara di bidang ekonomi ini, mampu bertahan dari serangan badai krisis akut yang melanda dunia.

Pada sisi lain, bukan hanya Korea Selatan yang kapitalis, namun Cina yang sosialis, begitu kuat dan kokoh dari serangan krisis. Negara jiran Malaysia, yang merupakan salah satu negara yang terkena badai krisis ekonomi, ternyata hanya dalam hitungan bulan mampu menunjukkan kebangkitannya kembali. Negara ini, selain memiliki wajah ekonomi kapitalis, tetapi memiliki wajah ekonomi syariah. Salah satu kebijakan politiknya, Mahathir Muhammad di saat masih menjabat sebagai Perdana Mentri Malaysia adalah menolak bantuan IMF dalam memulihkan ekonomi mereka. Padahal, IMF adalah instrumen kapitalisme global.

Jika Korea dapat pulih dengan IMF, Malaysia dapat pulih dengan menjauhi IMF. Bagaimana Indonesia? Sekali lagi kita temukan, Indonesia adalah negara yang masih gamang. Bukan hanya gamang dalam ideologi, tetapi juga gamang dalam ekonomi. Dalam konteks pemulihan ekonomi nasional ini, Indonesia gamang. IMF diterima setengah hati, bangkit dengan keunikan ekonomi koperasi sebagai sokoguru nasional Indonesia juga setengah hati, muncul dengan ekonomi syariah setengah hati. Akibatnya, sudah sangat jelas, kita tidak mudah keluar dari krisis nasional.

Dari sisi ideologi, akibat ketidakjelasan kepemihakan bangsa Indonesia, kita menjadi bulan-bulanan politik dunia. Australia, yang bernafsu menjadi polisi dunia di Asia Pasifik, begitu semangat mendukung program-program globalisasi atau kapitalisme dunia. Dalam masalah perang melawan terorisme, Australia menjadi negara terdepan dalam mengampanyekannya. Bahkan, Australia sebagai negara Timur, menjadi pendukung utama penyerangan ke Irak. Australia seolah-olah menjadi saudara kembar Amerika Serikat dalam berbagai kampanye dunia global, kampanye kapitalisme, dan kampanye antiterorisme.

Sebagai satu negara kembar Barat yang ada di Timur, Australia kerap mengejutkan nurani bangsa Indonesia. Program antiterorisme atau Detasemen 88 milik Polri, dalam operasinya, tidak terlepas dari pantauan Australia. Bahkan, angka 88 pun dihipotesiskan dan dinisbatkan kepada jumlah korban warga Australia dalam peristiwa bom Bali.

Pada satu bulan terakhir, Autralia kerap memunculkan kebijakan-kebijakan yang kurang menyamankan bangsa Indonesia. Pembelian senjata perang jarak jauh, statemen politik yang menyerang dan menyudutkan Indonesia, campur tangan Australia dalam beberapa kasus kriminal di Indonesia, merupakan sebagian persoalan keamanan negara yang terpengaruhi oleh peran Australia yang berobsesi menjadi polisi dunia di wilayah Asia Pasifik.

Pendidikan bela negara

Salah satu solusi jangka panjang menjaga keutuhan, keamanan, dan kenyamanan hidup berbangsa dan bernegara, Indonesia membutuhkan fundamental ekonomi, budaya, dan pertahanan keamanan nasional yang kuat dan kokoh. Tanpa fundamental ketahanan nasional yang kuat, ancaman keamanan dan kenyamanan bangsa sangat rentan. Untuk itu, solusinya adalah pendidikan kewarganegaraan melalui pendidikan bela negara.

Pendidikan bela negara ini menjadi penting, karena pertama kebutuhan legal. Secara hukum, khususnya merujuk Pasal 30 UUD 1945, setiap warga negara memiliki kewajiban bela negara. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan bela negara menjadi sesuatu hal yang legal dan dipayungi konstitusi negara yang sangat kuat.

Kedua, sebagaimana merujuk pada penjelasan di atas, pendidikan bela negara menjadi sesuatu yang wajib, sejalan dengan kenyataan empiris yang berkembang saat ini, yaitu jika dikaitkan dengan kondisi empiris Indonesia yang berada pada persimpangan kepentingan dunia. Realitas empiris inilah yang menjadi satu kebutuhan Indonesia untuk melakukan reorientasi sistem ketahanan nasional.

Ketiga, kepentingan masa depan, khususnya dikaitkan dengan potensi ancaman di masa yang akan datang. Dalam versi AS dan sekutunya, ancaman terbesar dunia zaman sekarang ini adalah terorisme. Terorisme dimaksud adalah terorisme negara dan teorisme kelompok. Negara besar yang kuat secara militer dan/atau kuat secara ekonomi-politik, merupakan ancaman yang potensial sebagai terorisme negara di masa yang datang. Sebagai contoh kasus penyerangan ke Irak. Kendati tidak mengantongi izin PBB, AS yang merasa kuat secara ekonomi dan militer, kemudian melaksanakan penyerangan ke Irak. Hal demikian, menjadi preseden dan indikasi bahwa negara yang kuat secara ekonomi dan militer, potensial menjadi terorisme negara kepada negara-negara lain. Dengan mengatasnamakan melawan terorisme, negara besar dapat menjadi negara teroris. Bahkan, Palestina sampai sekarang tidak pemah merasakan kenyamanannya sebagai satu negara berdaulat. Sementara, Israel dengan segala fasilitas hukum, fasilitas politik, serta fasilitas militernya dari AS, tetap menjalankan teror kepada masyarakat Palestina.

Contoh di atas, hanyalah sebagian kecil pengalaman dunia saat ini, yang dapat dijadikan rujukan bahwa ancaman masa depan Indonesia menuntun pentingnya upaya untuk pendidikan bela negara. Dengan program bela negara ini, diharapkan akan terbangun satu kesadaran kolektif nasional Indonesia yang kuat dan kokoh dalam membela bangsa dan negara Indonesia.***

sumber : Idrus Affandi

Pendidikan Pancasila


A. Dasar Pemikiran Pendidikan Pancasila

Era globalisasi menuntut adanya berbagai perubahan. Demikian juga bangsa Indonesia pada saat ini terjadi perubahan besar-besaran yang disebabkan oleh pengaruh dari luar maupun dari dalam negeri.

Kesemuanya di atas memerlukan kemampuan warga Negara yang mempunyai bekal ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berlandaskan pada nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai budaya bangsa.

B. Landasan Pendidikan Pancasila

1. Landasan Historis

Di dalam kehidupan bangsa Indonesia tersebut prinsip hidup yang tersimpul di dalam pandangan hidup atau fisafat hidup bangsa (jati diri) yang oleh para pendiri bangsa/Negara dirumuskan dalam rumusan sederhana namun mendalam yang meliputi lima prnsip, yaitu Pancasila.

2. Landasan Kultural

Bangsa Indonesia memiliki kepribadian tersendiri yang tercermin di dalam nilai-nilai budaya yang telah lama ada. Nilai-nilai budaya sebagai nilai dasar berkehidupan berbangsa dan bernegara dirumuskan dalam Pancasila.

3. Landasan Yuridis

Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, Keputusan Dirjen Dikti Nomor 265 Tahun 2000 mengatur tentang perlunya mata kuliah Pendidikan Pancasila.

4. Landasan Folosofis

Nilai-nilai Pancasila merupakan dasar filsafat Negara, maka dalam aspek penyelenggaraannya Negara harus bersumber pada nilai-nilai Pancasila termasuk system perundang-perundangan di Indonesia.

3. Tujuan Pendidikan Pancasila

Pendidikan Pancasila bertujuan untuk menghasilkan peserta didik yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, mendukung kerakyatan yang mengutamakan upaya mewujudkan suatu keadlan social dalam masyarakat.

DEMOKRATISASI DI INDONESIA


• Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, “migrasi” para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera. Dapat dicatat disini para “migran politik’ tersebut antara lain; Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.
• Di Indonesia, fenomena demokrasi dapat ditemui dalam sejarah perkembangan politik pasca kolonial. Fokus demokrasi pada masa demokrasi parlementer (1955-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965) bentukkan Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila masa Orde Baru, dan karakteristik demokrasi setelah berakhirnya kekuasaan otoritarian (periode transisi dan konsolidasi demokrasi 1998-2007).
Masa Demokrasi Liberal
• Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.
• Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.
• Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni “gonta-ganti” pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.
• Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh “anti demokrasi”. Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Namun begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang keladi kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang menempatkan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal sebagai sasaran tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya. Kebobrokan demokrasi liberal yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab utama kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari krisis politik tersebut adalah “mengubur” demokrasi liberal yang dalam pandangannya tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi, “parliamentary democracy is not good for revolution”.
Demokrasi Diktatorial (dibawah Soekarno dan Soeharto)
• Dalam amanatnya kepada sidang pleno Konstitante di Bandung 22 April 1959, Soekarno dengan lugas menyerang konstituante, praktik demokrasi liberal, dan menawarkan kembali konsepsinya tentang demokrasi Indonesia yang disebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) .
• Demokrasi Terpimpin Soekarno kemudian runtuh setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkjan unsur komunis (PKI) dan angkatan bersenjata, yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncul kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen. Soeharto yang menyatakan diri sebagai “Orde Baru”.
• Konsepsi demokrasi Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak cukup jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila, dalam konsep yang sangat abstrak. Pada dasarnya, konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik berangkat yang sama dengan konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli Indonesia. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang sehat dan bertanggungjawab, berdasarkan moral dan pemikiran sehat, berlandaskan pada suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila.
• Langkah politik awal yang dilakukan Soeharto untuk membuktikan bahwa dirinya tidak anti demokrasi adalah dengan merespons penjadwalan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), sebagaimana dituntut oleh partai-partai politik. Soeharto sendiri pada hakekatnya tidak menghendaki pemilu dengan segera, sampai dengan terkonsolidasikannya “kekuatan Orde Baru”. Sebagai upaya lanjut mengatasi “peruncingan ideologi” Soeharto melakukan inisiatif penggabungan partai politik pada 1973, dari 10 partai menjadi 3 partai politik (Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri yang notabene, dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa tidak bersedia menyatakan diri sebagai parpol melainkan organisasi kekaryaan. Fusi atau penggabungan partai ini merupakan wujud kekesalan Soeharto terhadap parpol dan hasratnya untuk membangun kepolitikan “kekeluargaan”. Menjaga citra sebagai “negara demokrasi” terus dijaga oleh rezim Orde Baru.
• Terhadap tuntutan demokrasi yang berkembang kuat sejak pertengahan 1980-an, sebuah momen perkembangan yang oleh Huntington dinamakan “gelombang demokrasi ketiga” Soeharto menjawab dengan kebijakan “mulur mungkret” liberalisasi politik terbatas, yang oleh para pengkritik disebut sebagai demokrasi seolah-olah (democracy as if), tetapi sekaligus mempertahankan instrumen represif terhadap kelompok yang mencoba-coba keluar dari “aturan main” yang ditentukan rezim.
• Praktik democracy dictatorship yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam krisis bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parah menjadikan porak porandanya ekonomi nasional yang ditandai dengan runtuhnya nilai mata uang rupiah, inflasi, tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan semakin besarnya pengangguran. Krisis ekonomi memacu berlangsungya aksi-aksi protes dikalangan mahasiswa menuntut Soeharto mundur.
Demokratisasi Pasca Orde Baru
• Berakhirnya Orde Baru melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat. Berbagai kelompok dengan latar belakang ideologi yang beranekaragam, mulai dari muslim radikal, sosialis, nasionalis, muncul dan bersaing untuk mendapatkan pengaruh politik. Sebelum pemilu multi partai 1999 diselenggarakan, berlangsung pertikaian di kalangan pro demokrasi soal bagaimana transisi demokrasi harus berjalan dan soal memposisikan elite-elite lama dalam proses transisi.
• Beberapa kemajuan penting dalam arsitektur demokrasi yang dilakukan pemerintahan Habibie antara lain; adanya kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, pencabutan beberapa UU politik yang represif dan tidak demokratis, dan netralitas birokrasi dan militer dari politik praktis.
• Kesuksesan dalam melangsungkan demokrasi prosedural ini merupakan prestasi yang mendapatkan pengakuan internasional, tetapi di lain pihak, transisi juga ditandai dengan meluasnya konflik kesukuan, agama, dan rasial yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air sejak 1998. Misalnya di Ambon, Poso, Sambas dan lainnya.
• Pemerintahan baru hasil pemilu 1999 yang memunculkan pasangan Abdurrahman Wahid-Megawati jauh dari performance yang optimal. Wahid pada akhirnya dipaksa lengser setelah kurang dari dua tahun berkuasa. Lengsernya Wahid yang terpilih dengan legitimasi demokratis dan dikenal luas sebagai pendukung militan demokrasi, menjadi sebuah tragedi transisi demokrasi.
• Praktik berdemokrasi di Indonesia masa transisi mendapatkan pengakuan luas dari dunia internasional. Dalam indeks yang disusun oleh Freedom House tentang hak politik dan kebebasan sipil Indonesia sejak pemilu 1999 hingga masa konsolidasi demokrasi saat ini berhasil masuk dalam kategori “negara bebas”. Hal ini berbeda dengan kepolitikan masa Orde Baru yang dikategorikan sebagai dengan kebebasan yang sangat minimal (partly free).
• Problem demokrasi yang populer belakangan ini adalah, dapatkah demokrasi mampu mengantar bangsa ini ke arah sejahtera? Ataukah sebaliknya, demokrasi menjadi amat mahal, ketika biaya Pemilu dan Pilkada membutuhkan ongkos mahal, baik ongkos pemilu, maupun ongkos sosial akibat kerusuhan pasca pemilu.
sumber : http://masadmasrur.blog.co.uk

Selasa, 23 Februari 2010

PENGERTIAN-PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA


Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM meliputi :
1. Kejahatan genosida;
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
1. Membunuh anggota kelompok;
2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
1. pembunuhan;
2. pemusnahan;
3. perbudakan;
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6. penyiksaan;
7. perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9. penghilangan orang secara paksa; atau
10. kejahatan apartheid.
(Penjelasan Pasal 7, 8, 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseoarang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang dari orang ketiga, dengan menghukumnya atau suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik (Penjelasan Pasal 1 angka 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)
Penghilangan orang secara paksa adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya (Penjelasan Pasal 33 ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)
sumber :http://gurupkn.wordpress.com

Senin, 04 Januari 2010

STRUKTUR KOPERASI


Pengertian
Koperasi tradisional atau Hanel (1985) menyebutnya dengan “Koperasi Historis”, berkembang di Eropa di akhir abad 18 sampai 19. Pertumbuhannya berdasarkan naluri solidaritas kelompok atau suku bangsa tertentu. Dengan menggunakan pendekatan pengelolaan sederhana namun berhasil menanamkan prinsip pemanfaatan bersama atas sumberdaya produksi yang tersedia.
Akan tetapi dalam perkembangan masyarakat memiliki karakteristik dinamis. Dinamika dan ciri kompetitif ternyata kurang terwadahi dalam Koperasi tradisional. Koperasi tidak dapat tumbuh dalam “kerangka dan suasana” tradisional seperti masa lalu. Persaingan telah menuntut tersedianya rancangan strategi-strategi dan kiat-kiat tertentu agar dapat eksis dan turut terlibat dalam kancah persaingan yang semakin ketat. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang cukup tentang faktor-faktor atau variabel-variabel yang terkait dengan keberhasilan dan kegagalan koperasi. Strategi-strategi alternatif ini membutuhkan hipotesis-hipotesis, teori-teori, dalil-dalil serta informasi lain yang teruji secara baik. Sumber utama pengetahuan yang perlu digunakan dalam membangun sebuah institusi adalah pengetahuan “teoritikal” yang dapat menerangkan berbagai realitas empirikal.
Reformasi dan reaktualisasi pemikiran tentang koperasi terletak pada nilai instrumental yang operasional. Secara normatif perubahan itu hampir tidak mengusik eksistensi koperasi sebagai institusi penghimpun kekuatan mandiri. Hal itu dapat ditelaah pada batasan koperasi dari berbagai aliran yang ada. Para pakar dan peneliti serta ketentuan perundang-undangan nasional telah menggariskan batasan berdasarkan cara pandang dan kepentingan yang dihadapi, namun makna dasar koperasi tidak banyak berubah.
Pendapat mengenai definisi koperasi dikemukakan oleh para pendukung pendekatan esensialis, institusional, maupun nominalis (Hanel, 1985,27). Pendekatan esensialis, memandang koperasi atas dasar suatu daftar prinsip yang membedakan koperasi dengan organisasi lainnya. Prinsip-prinsip ini di satu pihak memuat sejumlah nilai, norma, serta tujuan nyata yang tidak harus sama ditemukan pada semua koperasi. Dari pendekatan esensialis ini, International Cooperative Alliance (ICA) telah merumuskan pengertian koperasi atas dasar enam prinsip pokok (Abrahamsen, 1976,3), antara lain:
1. Voluntary membership without restrictions as to race, political views,and religious beliefs;
2. Democratic Control;
3. Limited interest or no interest on shares of stock; Earnings to belong to members, and method of distribution to be decided by them;
4. Education of members, advisors, employees, and the public at large;
5. Cooperation among cooperatives on local, national, and international levels.
Pendekatan institusional, dalam mendefinisikan koperasi berangkat dari kriteria formal (legal). Menurut pendekatan ini: "Semua organisasi disebut koperasi jika secara hukum dinyatakan sebagai koperasi, jika dapat diawasi secara teratur dan jika dapat mengikuti prinsip-prinsip koperasi". (Munkner, 1985,18).
Pendekatan nominalis, dengan pelopornya para ahli ekonomi koperasi dari Universitas Philipps-Marburg, merumuskan pengertian koperasi atas dasar sifat khusus dari struktur dasar tipe sosial-ekonominya. Menurut pendekatan nominalis, koperasi dipandang sebagai organisasi yang memiliki empat unsur utama (Hanel, 1985,29), yaitu:
1. Individual are united in a group by-at least one common interest or goal (COOPERATIVE GROUP);
2. The individual members of the cooperative group intend to pursue through joint actions and mutual support, among other, the goal of improving their economic and social situation (SELF-HELP OF THE COOPERATIVE GROUP);
3. The use as an instrument for that purpose a jointly owned and maintained enterprise (COOPERATIVE ENTERPRISE);
4. The cooperative enterprise is charged with the perfomance of the (formal) goal or task to promote the members of the cooperative group through offering them directly such goods and services, which the members need for their individual economics - i.e. their houshold (CHARGE OR PRINCIPLE OF MEMBER PROMOTION).
Penjelasan itu memberikan petunjuk bahwa dalam organisasi koperasi melekat secara utuh lima unsur, yaitu: (a) anggota-anggota perseorangan, (b) kelompok koperasi, yang secara sadar bertekad melakukan usaha bersama dan saling membantu demi perbaikan kondisi ekonomi dan sosial mereka, melalui, (c)perusahaan koperasi, yang didirikan secara permanen dimiliki dan dibina secara bersama sehingga tercipta suatu, (d) hubungan pemilikan antara kelompok koperasi dan perusahaan koperasi yang mengarahkan adanya promosi anggota atau hubungan usaha yang saling menunjang antara kegiatan ekonomi anggota individu dengan perusahaan koperasi.
Berkaitan dengan keempat unsur tersebut, Hanel (1985,30) menjelaskan,” Thus, cooperative are also characterized to be autonomous business organizations, which are owned by the members and charged with the promotion of their members in their role as customers of the cooperative enterprise.
Dalam organisasi koperasi terdapat prinsip atau norma identitas ganda, anggota di samping sebagai pemilik sah, juga adalah pemilik atau pelanggan jasa yang diusahakan oleh koperasi. Di samping itu, dalam organisasi koperasi terdapat dua perusahaan (double nature), yaitu perusahaan, atau kegiatan ekonomi, anggota secara individu dan perusahaan koperasi yang dimiliki anggota secara bersama-sama.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa koperasi dilihat dari substansinya adalah suatu sistem sosial-ekonomi, hubungan dengan lingkungannya bersifat terbuka, cara kerjanya adalah suatu sistem yang berorientasi pada tujuan, dan pemanfaatan sumber dayanya adalah suatu organisasi ekonomi yang unsurnya mencakup: anggota-anggota perseorangan, perusahaan atau kegiatan ekonomi anggota secara individu, kelompok koperasi, perusahaan koperasi, dan hubungan pemilikan serta hubungan usaha atau pelayanan perusahaan koperasi kepada para anggotanya.
Dari penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa koperasi memiliki ciri-ciri yang khas sebagai sebuah organisasi. Koperasi lahir dengan memiliki tiga unsur pokok yakni, (a) kerjasama dua orang atau lebih, (b) tujuan yang akan dicapai, (c) kegiatan yang dikoordinir secara sadar.
Pendekatan nominalis dalam merumuskan pengertian koperasi, di samping telah dapat menunjukkan ciri-ciri esensial koperasi yang dapat dikaji secara ilmiah, tetapi juga telah dapat memberikan penjelasan yang cukup rinci mengenai perbedaan koperasi dengan organisasi ekonomi lain yang bukan koperasi. Maman (1989,19) membedakan koperasi dengan organisasi usaha non-koperasi, dengan melihat lima (5) hal yakni: (a) sifat keanggotaan, (b) pembagian keuntungan, (c) hubungan personal antara organisasi dan manajer, (d) keterlibatan pemerintah dalam penciptaan stabilitas dan operasi, dan (e) hubungan organisasi dan masyarakat.
Peran anggota merupakan indikator penting dalam mendefinisikan koperasi secara universal dengan tidak dibatasi oleh visi politis maupun kondisi sosial ekonomi kelompok masyarakat di mana koperasi itu hidup. Kedua peran tersebut menjadi kriteria identitas (identity criterion) bagi koperasi. Peran atau identitas ganda (dual identity) koperasi menunjukkan bahwa yang melakukan kerja sama (cooperation) adalah manusia atau anggotanya. Baik pada saat mengelola maupun pada saat memanfaatkan hasil usaha koperasi. Peran unik dari anggota inilah yang dijadikan acuan dalam mengenali sistem koperasi di berbagai negara. Roy (1981,6) dalam definsinya meamasukan peran anggota dalam usaha koperasi adalah:“...a business voluntarily organized, operating at cost, which is owned, capitalized and controleed by member-patrons as ussers, sharing risk and benefits proportional to their participation.”
Demikian pula, pendapat Packel, sebagaimana dikutip Abrahamsen (1976,5) yang menyatakan koperasi adalah: “... a democratic association of persons organized to furnish themselves an economic service under a plant that eliminates entrepreneur profit and that provides for subtantial equality in ownership and control". Hal serupa juga secara implisit dinyatakan oleh Munkner (1985), Ropke (1989) dan Chukwu (1990).
Walaupun bentuk implementasi peran anggota menurut beberapa ahli koperasi cenderung mengalami perubahan. Seperti dikemukakan oleh Herman (1995,66) setelah mengkaji artikel-artikel, “Trends in Co-operative Theory” (Wilson), “Homo Oeconomicus and Homo Cooperatives in Cooperative Research” (Weisel), “Basic Cooperatives Values” (Laurikari), maupun “Cooperative Today” (Book), menyimpulkan bahwa belakangan ini telah terjadi perubahan peran anggota seiring dengan tersisihnya demokrasi oleh ekonomi.
Perubahan peran sentral dari anggota ke manajemen tidaklah mengubah pentingnya prinsip ganda anggota dalam organisasi. Karena pada dasarnya perubahan itu terletak pada tataran instrumental bukan pada taran substansi. Mengenai hal itu dapat dikaji pendapat Dulfer (1985) mengenai perubahan struktur koperasi secara radikal. Dikatakan bahwa perubahan struktur koperasi akan mengikuti pola hirarkis (a) koperasi tradisional, (b) koperasi berorentasi pasar, dan (c) koperasi yang terintegrasi secara vertikal dan horizontal. Setiap tingkat memiliki konsekwensi implementasi manajemen yang berbeda. Lebih khusus perbedaan tersebut terletak pada posisi anggota dalam pengelolaan organisasi.
Koperasi Indonesia
Pada kasus Indonesia, koperasi sebagai badan usaha yang dimiliki dan dimanfaatkan oleh anggota, di tegaskan dalam Undang-undang nomor 25 tahun 1992. Batasan koperasi dalam perundangan ini memiliki makna yang lebih tegas dan jelas dibanding batasan lama, dalam Undang-undang No.12 tahun 1967, yang memungkinkan terciptanya pemikiran ganda tentang koperasi. Undang-undang nomor 25 tahun 1992 mengakomodasi perubahan tataran instrumental seperti dengan diaturnya “Pengelola” atau manajer dalam pengelolaan organisasi dan usaha koperasi.
Koperasi seperti badan usaha lainnya memiliki keleluasaan gerak dalam menjalankan usaha selama tidak menyalahi ketentuan perundang-undangan dan idielogi normatif yang ada. Usaha merupakan proses rasional yang akhirnya bermuara pada penciptaan keuntungan (profit), akumulasi keuntungan tersebut digunakan untuk melayani kebutuhana anggota. Dengan demikian, usaha koperasi dapat dilaksanakan selama memperhatikan dua hal pokok, yakni:
(1) Usaha yang dijalankan selaras dengan kebutuhan anggota dan sejauh mungkin mengandung unsur pemberdayaan (empowering) bagi usaha anggota.
(2) Keuntungan usaha dialokasikan untuk anggota selaras dengan jasa yang diberikan anggota pada usaha koperasi.
Perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat selain anggota sesuai dengan tujuan koperasi Indonesia, seperti tertuang dalam pasal 3 Bab II Undang-undang nomor 25 tahun 1992, yakni, memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pelaksanaan organisasi dan manajemen koperasi didasari oleh prinsip koperasi, prinsip tersebut berisi, (a) keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, (b) pengelolaan dilakukan secara demokratis, (c) pembagian sisa hasil usaha (SHU) dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota, (d) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, (e) Kemandirian. Di samping prinsip yang mengikat intern organisasi, koperasi memiliki prinsip lain yang berkaitan dengan ekstern organisasi yakni, (a) pendidikan perkoperasian, (b) kerjasama antar koperasi.
Pembahasan di atas menunjukkan koperasi dapat dilihat sebagai unit usaha (dimensi mikro) dan sistem ekonomi (dimensi makro). Dalam dimensi mikro, koperasi memiliki kewajiban dan hak yang sama dengan pelaku ekonomi lainnya. Dalam dimensi makro, koperasi adalah faham atau idielogi yang harus menjadi panutan bagi pelaku ekonomi nasional.
Pemahaman tentang kedua hal itu dapat menghindarkan diri dari pemikiran yang keliru terhadap konsep “Koperasi sebagai soko guru ekonomi”. Mengenai kedua dimensi itu dapat di pisahkan dan dibedakan dengan menunjuk aspek-aspek seperti pada tabel 1.
Dimensi mikro mengandung konsekuensi, koperasi sebagai organisasi ekonomi yang memiliki keharusan menangani usaha berdasarkan prinsip efisiensi, efektivitas dan produktivitas. Hanya dengan itu koperasi tetap hidup dan mampu mengembangkan diri melalui akumulasi kekayaan (asets) sebagai prasyarat untuk memberikan pelayanan lebih baik bagi anggota. Khususnya dalam pemanfaatan faktor-faktor produksi yang persediannya terbatas. Dalam konteks ini koperasi memiliki berbagai kesamaan dengan badan usaha lainnya. Selaras dengan tujuan koperasi, maka prinsip efisiensi dan efektivitas untuk mewujudkan produktivitas yang tinggi harus dipadukan dengan optimasi pelayanan kepada usaha dan kesejahteraan anggota.
Sistem ekonomi yang bernuansa kemanfaatan bersama/ kerakyatan.
Koperasi sebagai sistem sosial merupakan gerakan yang tumbuh berdasarkan kepentingan bersama. Ini mengandung makna dinamika koperasi harus selaras dengan tujuan yang telah ditetapkan bersama. Semangat kolegial perlu dipelihara melalui penerapan musyawarah dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks itu, koperasi merupakan organisasi swadaya (self-helf organization) akan tetapi tidak seperti halnya organisasi swadaya lainnya, koperasi memiliki karakteristik yang berbeda (Hanel,1985,36).
Mengkaji koperasi sebagai badan usaha dan organisasi swadaya adalah untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang posisi manusia dalam konstelasi sistem koperasi. Koperasi menempatkan faktor “manusia” sebagai elemen penting dalam sistem keorganisasian. Manusia anggota merupakan sentral pengembangan yang berposisi penting dalam proses peningkatan kesejahteraan.
Manajemen Koperasi
Tugas manajemen koperasi adalah menghimpun, mengkoordinasi dan mengembangkan potensi yang ada pada anggota sehingga potensi tersebut menjadi kekuatan untuk meningkatkan taraf hidup anggota sendiri melalui proses “nilai tambah”. Hal itu dapat dilakukan bila sumberdaya yang ada dapat dikelola secara efisien dan penuh kreasi (inovatif) serta diimbangi oleh kemampuan kepemimpinan yang tangguh.
Manajemen koperasi memiliki tugas membangkitkan potensi dan motif yang tersedia yaitu dengan cara memahami kondisi objektif dari anggota sebagaimana layaknya manusia lainnya. Pihak manajemen dituntut untuk selalu berpikir selangkah lebih maju dalam memberi manfaat dibanding pesaing hanya dengan itu anggota atau calon anggota tergerak untuk memilih koperasi sebagai alternatif yang lebih rasional dalam melakukan transaksi ekonominya.
Rumusan manfaat bagi setiap orang akan berbeda hal itu tergantung kepada pandangan hidup terhadap nilai manfaat itu sen-diri. Motif berkoperasi bagi sementara orang adalah untuk memperoleh nilai tambah ekonomis seperti, me-ningkatnya penghasilan atau menambah kekayaan (aset) usaha. Tetapi bagi sebagian orang menjadi anggota koperasi bukan karena adanya dorongan materi atau alasan finansial akan tetapi semata-mata untuk kepuasan batin saja atau alasan ideal lainnya.
Untuk menjaga momentum pertumbuhan usaha maupun perkembangan koperasi pada umumnya pihak manajemen perlu mengupayakan agar koperasi tetap menjadi alternatif yang menguntungkan, dalam arti lain manajemen koperasi harus mampu mempertahankan manfaat (benefit) koperasi lebih besar dari manfaat yang disediakan oleh non-koperasi. Atau koperasi harus selalu mengembangkan keunggulan kompetitif dan komparatif dalam sistem manajemen yang dikembangkannya.
Perangkat organisasi koperasi sebagaimana diatur dalam pasal 21 Undang-Undang Perkoperasian Nomor 25 tahun 1992 terdiri atas, (a) rapat anggota, (b) pengurus, dan (c) pengawas.
Ketiganya dalam organisasi koperasi memiliki tugas mengembangkan kerjasama sehingga membentuk suatu kesatuan sistem pengelolaan. Untuk menuju ke arah itu diperlukan komitmen unsur-unsur tersebut terhadap sistem kerja yang telah disepakati bersama.
Rapat anggota merupakan kolektivitas suara anggota yang merupakan pemilik organisasi dan juga merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Ide-ide dan kebijakan dasar dihasilkan dalam forum ini. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, anggaran pendapatan dan belanja, pokok-pokok program dan ketentuan-ketentuan dasar dibuat berdasarkan musyawarah anggota, yang selanjutnya dilaksanakan oleh pengurus atau manajer dan pengawas. Secara sistimatis Roy (1981,426) menunjuk kekuasaan dan tanggungjawab anggota.
Sehubungan dengan beratnya kewajiban yang harus diemban anggota, maka sistem penerimaan keanggotaan se-layaknya menggunakan standar minimal kualifikasi. Standar minimal kualifikasi tersebut berhubungan dengan tingkat minimal pemahaman calon anggota terhadap hak, tanggung jawab dan kewaji-ban selaku anggota. Dengan demikian memungkin-kan anggota memiliki pengetahuan yang relatif sama menge-nai organisasi dan tujuan yang hendak dicapai. Penetapan standar minimal kualifikasi tidak bertentangan dengan prinsip "keanggotaan terbuka" karena pada dasarnya memung-kinkan setiap orang untuk menjadi anggota, akan tetapi sebelum pendaftaran dilakukan setiap anggota perlu memiliki wawasan minimal sebagai anggota. Untuk keperluan itulah diperlukan pendidikan dasar bagi calon anggota. Standar minimal kualifikasi tersebut menyangkut pemahaman dan ketertautan diri terhadap isi anggaran dasar dan ang-garan rumah tangga serta ketentuan lain dalam organisasi.
Pengurus adalah orang-orang yang dipercaya oleh rapat anggota untuk menjalankan tugas dan wewenang dalam menjalankan roda organisa-si dan usaha. Sehubungan dengan hal itu, maka pengurus wajib melaksanakan harapan dan amanah anggota yang disampaikan dalam forum rapat anggota. Pengurus perlu menjabarkan kehendak anggota dalam program kerja yang lebih teknis.
Pasal 30 dalam perundang-undangan yang sama telah menetapkan tugas pengurus adalah (a) mengelola koperasi dan usahanya, (b) mengajukan rancangan rencana kerja serta rancangan rencana Anggaran pendapatan dan belanja koperasi, (c) menyelengga-rakan rapat anggota, (d) mengajukan laporan keuangan dan pertang-gungjawaban pelaksanaan tugas, (e) memelihara daftar buku anggota pengurus.
Selain tugas seperti di atas pengurus pun memiliki kewenangan, untuk, (a) mewakili koperasi di dalam dan di luar pengadilan, (b) memutuskan penerimaan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar, (c) melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi sesuai dengan tanggungjawabnya dan keputusan rapat anggota. Untuk terlaksananya tugas tersebut, pengurus dibantu oleh pengelola dan karyawan lainnya.
Mengenai kehadiran pengelola telah diatur dalam pasal 32, yang berisi ketentuan sebagai berikut, (a) pengurus koperasi dapat mengangkat pengelola dan diberi wewenang dan kuasa untuk mengelola usaha, (b) dalam hal pengurus koperasi bermaksud untuk mengangkat pengelola, maka rencana pengangkatan tersebut diajukan kepada rapat anggota untuk mendapat persetujuan, (c) pengelola bertanggungjawab kepada pengurus, (d) pengelola usaha oleh pengelola tidak mengurangi tanggungjawab pengurus sebagaimana ditentukan dalam pasal 31.
Pengangkatan pengelola dan karyawan didasarkan pada tingkat kebutuhan dan tuntutan yang diha-dapi oleh masing-masing koperasi. Pada umumnya pengangkatan sering disebabkan karena alasan-alasan, (a) organisasi semakin besar dan kompleks, (b) biasanya pemilihan pengurus karena alasan “personality”, bukan berdasarkan keahlian, (c) masa kerja pengurus terbatas, (d) mengurus koperasi ditempatkan sebagai kerja sambilan, (d) sulit memisahkan antara kepentingan, sebagai anggota yang menjalankan usaha pribadi dengan kepentingan sebagai pengurus yang harus mengelola perusahaan koperasi, atau (e) kurang memiliki waktu dan keahlian.
Pengelola perlu memiliki berbagai kompetensi dan sikap tertentu untuk menjalankan fungsinya. Diantaranya adalah sikap terbuka terhadap hal-hal atau penemuan-penemuan baru (inovasi) yang mendukung jalannya tugas keorganisasian dan usaha. Malahan lebih dari pada itu harus terangsang untuk mencari terobosan-terobosan baru yang belum ditemukan oleh pesaing. Sikap yang terlalu toleran terhadap cara-cara lama sampai batas tertentu akan sangat membahayakan terhadap eksistensi dan daya hidup koperasi. Hal yang harus disadari oleh pengelola hasrat anggota maupun konsumen bukan anggota selalu dalam keadaan dinamis, walau arah dinamika itu tidak selalu berjalan ke muka, tetapi mungkin akan kembali ke semula. Dengan demikian esensi inovasi dapat diklasifikasi dengan: (a) menerima dan menerapkan cara atau teknologi yang sama sekali baru, (b) memodifikasi cara atau teknologi lama sehingga terkesan baru, (c) menerapkan cara baru dari tekbologi lama.
Sikap lain yang harus dimiliki pengelola hubungannya dengan usaha adalah kemampuan dalam menghimpun modal. Menarik modal, baik dari dalam maupun luar, bukanlah pekerjaan ringan mengingat hal itu sangat berhubungan dengan kepercayaan pihak anggota maupun pihak non-anggota terhadap koperasi. Memposisikan usaha yang dijalankan sebagai sarana investasi rasional merupakan tanggungjawab pengelola.
Kepemimpinan merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pengelola. Data empiris menyatakan sikap ini masih tergolong rendah di kalangan pengelola terutama KUD. Tanpa sikap ini, pengelola tidak lebih dari karyawan biasa yang menggantungkan hidup dari koperasi. Terakhir adalah kemampuan manajerial yang berhubungan dengan kebersediaan dan ketersedian pengelola untuk melaksanakan fungsi manajemen secara proporsional dan profesional sehingga apa yang dikerjakan merupakan hasil kerja yang terurut dan terukur.
Pengawas atau badan pemeriksa adalah orang-orang yang diangkat oleh forum rapat anggota untuk mengerjakan tugas pengawasan kepada pengurus. Tiga hal penting yang diawasi dari pengurus oleh pengawas, yakni: (a) keorganisasian; (b) keusahaan; (c) keuangan.
Tugas pengawas dalam manajemen koperasi memiliki posisi strategis, mengingat secara tidak langsung, posisi-nya dapat menjadi pengaman dari ketidakjujuran, ketidaktepatan pengelolaan atau ketidakprofesionalan pengurus. Oleh sebab itu menjadi pengawas harus memiliki per-syaratan kemampuan (kompentensi), yaitu: a) kompentensi pribadi; b) kompentensi profesional.
Kompetensi pribadi menyangkut, kharisma atau kewibawaan, kejujuran dan kepemimpinan. Kompetensi pertama ini angat ditentukan oleh personaliti yang dimiliki oleh seorang pengawas. Kompetensi ini dapat terbentuk secara alamiah tetapi juga dapat non-alamiah, misal, karena status sosial ekonomi yang dimiliki.
Kompentensi profesional menyangkut kemam-puan teknis, seperti: akuntansi, menejerial, menilai kelayakan usaha dlsb. Kompentensi terbentuk karena pengalaman dan pendidikan. Idealnya seorang pengawas memiliki dua kompentensi itu sekaligus, tetapi pengalaman empiris membuktikan sangat sulit mendapatkan pengawas dari kalangan anggota dengan kualifikasi demikian. Beberapa kasus ketidakberfungsian pengawas dalam manajemen koperasi, menjadi awal dari kekisruhan dan kemunduran koperasi secara umum. Ketidak berfungsian tersebut sering disebabkan, antara lain disebabkan, (a) kurangnya motivasi dan rasa tanggung jawab, (b) tidak memahami lapangan tugas dan wewenang yang dimiliki, (c) pada beberapa kasus kurangnya perhatian rapat anggota terhadap hasil temuan pengawas.
Ukuran Keberhasilan
Para ahli koperasi masih belum terlihat kesepakatan pendapat mengenai bagaimana dan apa ukuran efektivitas koperasi yang setepatnya. Hal itu sebagaimana diungkapkan Blumle (Dulfer dan Hamm, 1985) yakni, “ Finally let us see what co-operative science has to say, for it has been widely debating the problem of success. In current discussion about the promotional task this problem is linked up with the co-operative system of objectives and member participation. But there will be disappointment in the results of this research for anybody who approaches with hopes and analysis of the diverse attempts to make the promotional maxims operational, and to measurement co-operative success.”
Oleh sebab itu sampai saat ini mengukur efektivitas koperasi tidaklah sesederhana mengukur efektivitas organisasi atau badan usaha lain bukan koperasi. Efektivitas organisasi koperasi tidak saja semata berkenaan dengan aspek ekonomi melainkan juga akan berkenaan dengan aspek sosialnya. Akan tetapi sebagai konsekuensi logis dari kondisi koperasi yang selalu dalam keadaan bersaing dengan organisasi lain untuk mendapatkan sumberdaya maka merumuskan keberhasilan merupakan hal yang penting.
Keunggulan merupakan syarat utama untuk terlibat dalam persaingan itu. Keunggulan yang harus dimiliki senantiasa memuat dimensi koperasi sebagai unit usaha maupun gerakan swadaya. Ketangguhan dalam dimensi gerakan swadaya sangat ditentukan oleh tingkat keperdu-liaan anggota dalam fungsinya sebagai pemilik untuk turut dalam proses pengembangan Koperasi. Partisipasi anggota merupakan indikator dalam konteks. Sementara dilihat dari fungsi “badan usaha” ketangguhan koperasi diukur oleh kemampuannya dalam mengembangkan dan menguasai pasar. Hal ini sangat ditentukan oleh kemampuan koperasi dalam meraih lebih besar potensi yang dimiliki pasar ketimbang para pesaing. Koperasi harus mampu memberi alternatif rasional bagi pelanggannya (anggota) melalui berbagai kebijakan insentif usaha maupun perbaikan dalam teknis pelayanan pelanggan. Rumusan sederhana mengenai penjelasan di atas adalah, “Koperasi berhasil bila mampu mengembangkan usaha yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi anggota, dengan mengoptimalkan keterlibatan potensi anggota di dalam proses dan hasil usaha”. Sehubungan dengan itu Ropke (1989) berpendapat perlunya uji partisipasi (Participation-test) dan uji pasar (Market-test) untuk mengukur keberhasilan koperasi.
Kedua indikator keberhasilan bermuara pada, semakin baiknya tingkat kesejahteraan relatif anggota koperasi. Hal itu juga dikemukakan oleh Hanel (1985,76) yakni, "Advantages of cooperation and, thus, produce sufficient promotional potential for the benefit of the members".

Sumber :rully-indrawan.tripod.com

SHU Koperasi

Pasal 41

(1). Sisa Hasil Usaha merupakan pendapatan KOPERASI yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurangi dengan biaya yang dapat dipertanggungjawabkan, penyusutan, dan kewajiban lainnya termasuk Pajak dan Zakat yang harus dibayarkan dalam tahun buku yang bersangkutan.

(2). Sisa Hasil Usaha yang diperoleh dibagikan untuk :
a. cadangan;
b. anggota sesuai transaksi dan simpanannya;
c. pendidikan;
d. insentif untuk Pengurus;
e. insentif untuk Direksi/Manager dan karyawan.

(3). Pembagian Sisa Hasil Usaha dan pendapatan KOPERASI terdiri atas 3 (tiga) bagian :
a. pendapatan yang diperoleh dari usaha yang diselenggarakan untuk anggota koperasi; dan
b. pendapatan yang diperoleh dari usaha yang diselenggarakan untuk bukan anggota;
c. pendapatan yang diperoleh dari non operasional.

(4). Bagian dari Sisa Hasil Usaha Koperasi yang diperoleh dari anggota dipergunakan sebagai berikut :
a. untuk cadangan;
b. untuk anggota menurut perbandingan jasanya, dalam usaha koperasi untuk memperoleh pendapatan perusahaan;
c. untuk anggota menurut perbandingan simpanannya dengan ketentuan tidak melebihi suku bunga yang berlaku pada Bank-bank Pemeringah;
d. untuk dana Pengurus dan Pengawas;
e. untuk Kesejahteraan Pengelola Usaha dan karyawan KOPERASI;
f. untuk dana pendidikan KOPERASI;
g. untuk dana Sosial.

(5). Sisa Hasil Usaha yang diperoleh dari Usaha yang diselenggarakan untuk Pihak bukan Anggota dibagi sebagai berikut :
a. untuk cadangan;
b. untuk Anggota;
c. untuk dana Pengurus dan Pengawas;
d. untuk dana pengelola dan karyawan;
e. untuk dana pendidikan koperasi;
f. untuk dana Sosial.

(6). Bagian dari Pendapatan Koperasi yang diperoleh dari pendapatan non operasional dipergunakan sebagai berikut :
a. untuk cadangan;
b. untuk anggota menurut perbandingan simpanannya;
c. untuk dana pendidikan koperasi;
d. untuk dana Sosial.

(7). Penggunaan dana-dana Pendidikan dan Dana Sosial diatur dalam Anggaran Rumah Tangga dan atu diputuskan dalam Rapat Anggota Tahunan.

(8). Pembagian dan prosentase sebagaimana dimaksud ayat (4), (5) dan ayat (6) ditentukan dalam Anggaran Rumah Tangga dan diputuskan oleh Rapat Anggota.


Pasal 42

Bagian Sisa Hasil Usaha untuk anggota dapat diberikan secara langsung atau dimasukkan dalam simpanan atau tabungan anggota yang bersangkutan sesuai dengan Keputusan Rapat Anggota.


Pasal 43

(1). Cadangan dipergunakan untuk pemupukan modal dan menutup kerugian Koperasi sesuai dengan Keputusan Rapat Anggota.

(2). Bagian dari Cadangan KOPERASI dapat dibagikan kepada anggota dalam bentuk simpanan khusus, apabila jumlah cadangan telah mencapai lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah seluruh simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan khusus anggota.

(3). Rapat Anggota dapat memutuskan untuk mempergunakan paling tinggi 1/2 (satu per dua) bagian atau 50% dari jumlah seluruh cadangan untuk perluasan perusahaan KOPERASI.

(4). Sekurang-kurangnya 1/2 (satu per dua) bagian atau 50% dari uang cadangan harus disimpan dalam bentuk giro pada Bank yang ditunjuk oleh Pengurus.

(5). Anggota KOPERASI yang berhenti dari keanggotaan Koperasi secara sah dapat memperoleh bagian atas cadangan KOPERASI berdasarkan prosentase jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib yang dimilikinya pada KOPERASI, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.

sumber :[Ar-Royyan-1480]

Rabu, 21 Oktober 2009

Ekonomi Koperasi

Koperasi adalah merupakan singkatan dari kata ko / co dan operasi / operation. Koperasi adalah suatu kumpulan orang-orang untuk bekerja sama demi kesejahteraan bersama. Berdasarkan undang-undang nomor 12 tahun 1967, koperasi indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan beranggotakan orang-orang, badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Berikut di bawah ini adalah landasan koperasi indonesia yang melandasi aktifitas koprasi di indonesia.

- Landasan Idiil = Pancasila
- Landasan Mental = Setia kawan dan kesadaran diri sendiri
- Landasan Struktural dan gerak = UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1

A. Fungsi Koperasi / Koprasi

1. Sebagai urat nadi kegiatan perekonomian indonesia
2. Sebagai upaya mendemokrasikan sosial ekonomi indonesia
3. Untuk meningkatkan kesejahteraan warga negara indonesia
4. Memperkokoh perekonomian rakyat indonesia dengan jalan pembinaan koperasi

B. Peran dan Tugas Koperasi / Koprasi

1. Meningkatkan tarah hidup sederhana masyarakat indonesia
2. Mengembangkan demokrasi ekonomi di indonesia
3. Mewujudkan pendapatan masyarakat yang adil dan merata dengan cara menyatukan, membina, dan mengembangkan setiap potensi yang ada


KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA EKONOMI RAKYAT

Koperasi sebagai sebuah lembaga ekonomi rakyat telah lama dikenal di
Indonesia, bahkan Dr. Muhammad Hatta, salah seorang Proklamator Republik
Indonesia yang dikenal sebagai Bapak Koperasi, mengatakan bahwa Koperasi adalah
Badan Usaha Bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan
mereka yang umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela dan atas
dasar persamaan hak dan kewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya[1].

Menurut UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, dalam Bab I, Pasal 1,
ayat 1 dinyatakan bahwa Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan
orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya
berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus gerakan ekonomi rakyat yang berdasar
atas asas kekeluargaan. Sedangkan tingkatan koperasi dalam UU tersebut dikenal
dua tingkatan, yakni Koperasi Primer dan Koperasi Sekunder. Koperasi Primer
adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang, dan
Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan
Koperasi.

Tujuan pendirian Koperasi, menurut UU Perkoperasian, adalah memajukan
kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut
membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang
maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Secara konsepsional, Koperasi sebagai Badan Usaha yang menampung pengusaha
ekonomi lemah, memiliki beberapa potensi keunggulan untuk ikut serta memecahkan
persoalan social-ekonomi masyarakat. Peran Koperasi sebagai upaya menuju
demokrasi ekonomi secara kontitusional tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun
dalam perjalanannya, pengembangan koperasi dengan berbagai kebijakan yang telah
dicanangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, keberadaannya masih belum
memenuhi kondisi sebagaimana yang diharapkan masyarakat[2].

Secara kuantitatif jumlah koperasi di Indonesia cukup banyak, berdasarkan
data Departemen Koperasi & UKM pada tahun 2004 tercatat 130.730, tetapi yang
aktif mencapai 28,55%, sedangkan yang menjalan rapat tahunan anggota (RAT)
hanya 35,42% koperasi saja. Dengan demikian, dari segi kualitas, keberadaan
koperasi masih perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk ditingkatkan mengikuti
tuntutan lingkungan dunia usaha dan lingkungan kehidupan dan kesejahteraan para
anggotanya. Pangsa koperasi dalam berbagai kegiatan ekonomi masih relatif
kecil, dan ketergantungan koperasi terhadap bantuan dan perkuatan dari pihak
luar, terutama Pemerintah, masih sangat besar.

Dalam teori strategi pembangunan ekonomi, kemajuan Koperasi dan usaha
kerakyatan harus berbasiskan kepada dua pilar:[3]
1. Tegaknya sistem dan mekanisme pasar yang sehat;
2. Berfungsinya aransmen kelembagaan atau regulasi pemerataan ekonomi
yang effektif.

Namun dalam kenyataan yang dirasakan hingga saat ini, seringkali terjadi
debat publik untuk menegakkan kedua pilar utama di atas hanya terjebak pada
pilihan kebijakan dan strategi pemihakan yang skeptis dan cenderung
mementingkan hasil daripada proses dan mekanisme yang harus dilalui untuk
mencapai hasil akhir tersebut.

Di samping lembaga Koperasi yang telah dikenal, saat ini juga berkembang
lembaga Baitul Maal wat Tamwil (BMT) yang merupakan lembaga pendukung kegiatan
ekonomi masyarakat kecil bawah (golongan ekonomi lemah) dengan berlandaskan
sistem ekonomi Syariah Islam. Badan Hukum dari BMT dapat berupa Koperasi untuk
BMT yang telah mempunyai kekayaan lebih dari Rp 40 juta dan telah siap secara
administrasi untuk menjadi koperasi yang sehat dilihat dari segi pengelolaan
koperasi dan baik (“thayyiban”) dianalisa dari segi ibadah, amalan shalihan
para pengurus yang telah mengelola BMT secara Syariah Islam. Sebelum berbadan
hukum koperasi, BMT dapat berbentuk sebagai KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat)
yang dapat berfungsi sebagai Pra Koperasi.

Tujuan berdirinya BMT adalah guna meningkatkan kualitas usaha ekonomi bagi
kesejahteraan anggota, yang merupakan jamaah masjid lokasi BMT berada pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan
ekonomi umat sebagai bagian dari pembangunan ekonomi kerakyatan, maka sudah
seharusnya memanfaatkan dan memberdayakan Koperasi dan BMT sebagai lembaga yang
menghimpun masyarakat ekonomi lemah dengan mengembangkan iklim usaha dalam
lingkungan sosial ekonomi yang sehat dan menggandeng lembaga-lembaga
pemerintahan daerah, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan Lembaga
Perbankan Syariah , yang sedang berkembang saat ini di Indonesia, dalam sebuah
bentuk kemitraan berupa pembinaan manajerial koperasi, bantuan pengembangan
perangkat dan sistem keuangan mikro, serta kerjasama pendanaan dan pembiayaan .

Dengan membuat sebuah program kemitraan bagi BMT, maka diharapkan dapat
mengembangkan usaha-usaha mikro, sebagai pelaku utama ekonomi kerakyatan, yang
akan sulit jika dibiayai dengan menggunakan konsep perbankan murni, dan di sisi
lain kemitraan ini juga akan meningkatkan kemampuan Koperasi dan BMT sebagai
lembaga keuangan alternatif yang akhirnya program ekonomi Kerakyatan yang
didengung-dengungkan selama ini dalam mencapai visi mencapai kesejahteraan
lahir dan bathin, insya Allah akan dapat terwujud. Namun sebelum mewujudkan
visi masyarakat sejahtera lahir dan bathin, kita harus menyadari bahwa makna
kesejahteraan yang ingin dicapai bukan hanya dari sisi materi semata, tetapi
lebih dari itu yakni mempunyai ketersinggungan dengan apek ruhaniah yang juga
mencakup permasalahan persaudaraan manusia dan keadilan social ekonomi,
kesucian kehidupan, kehormatan individu, kebersihan harta, kedamaian jiwa dan
kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat,
sehingga mendiskusikan konsep kesejahteraan tersebut tidak terbatas pada
variable-variabel ekonomi semata, melainkan juga menyangkut moral, adat, agama,
psikologi, sosial, politik, demografi, dan sejarah